BMKG: Aphelion Tak Picu Cuaca Ekstrem di Indonesia

Lebih jauh, ia menyebutkan bahwa tren penyakit seperti demam berdarah lebih dipicu oleh lingkungan lembap dan genangan air akibat hujan, yang mempercepat siklus hidup nyamuk.

Denada S Putri
Senin, 07 Juli 2025 | 17:27 WIB
BMKG: Aphelion Tak Picu Cuaca Ekstrem di Indonesia
Ilustrasi Fenomena Aphelion. [Ist]

SuaraKaltim.id - Fenomena Aphelion yang terjadi pada awal Juli 2025 kembali jadi perbincangan publik, terutama di media sosial.

Sebagian warganet menyebut fenomena tahunan ini sebagai penyebab cuaca dingin dan potensi penyakit musiman.

Namun, BMKG Stasiun Meteorologi Kelas I SAMS Sepinggan Balikpapan menepis anggapan tersebut.

Hal itu disampaikan Kepala BMKG Sepinggan, Kukuh Ribudiyanto, Senin, 7 Juli 2025, di Balikpapan.

Baca Juga:Waspada Hujan Menengah di Kaltim: BMKG Perkirakan Curah Hujan 50-150 mm pada Dasarian III April

“Fenomena ini memang sedang terjadi, namun dampak signifikannya tidak ada karena jarak matahari dan bumi memang sudah sangat jauh,” tegas Kukuh.

Aphelion sendiri merupakan momen ketika Bumi berada pada titik terjauhnya dari Matahari dalam orbit tahunannya, yang biasa terjadi antara awal hingga pertengahan Juli.

Meski jarak meningkat dari sekitar 147 juta kilometer menjadi 152 juta kilometer, BMKG menegaskan bahwa hal ini tidak berdampak nyata terhadap suhu di permukaan Bumi.

“Perbedaan jarak hingga ratusan kilometer ini tidak memberikan perubahan suhu yang signifikan,” ujarnya.

Kukuh justru menekankan bahwa faktor utama yang memengaruhi cuaca di Indonesia—termasuk Kalimantan Timur—adalah distribusi awan, tekanan udara, dan pola angin.

Baca Juga:BMKG Peringatkan Pasang Laut 2,8 Meter di Pesisir Kaltim pada 1516 April

Saat ini, wilayah Indonesia sedang memasuki masa peralihan dari musim hujan ke kemarau, sehingga cuaca menjadi tidak menentu, kelembapan tinggi, dan hujan lokal masih sering terjadi.

“Kelembapan yang tinggi dan suhu yang berubah-ubah bisa berdampak pada kondisi kesehatan, misalnya batuk, pilek, atau penyakit lain yang berhubungan dengan daya tahan tubuh,” katanya.

Seiring dengan isu Aphelion, beredar pula narasi menyesatkan yang mengaitkannya dengan risiko pandemi baru. BMKG dengan tegas membantah klaim tersebut.

Fenomena Aphelion ini berulang setiap tahun dan bukan sesuatu yang luar biasa,” jelas Kukuh.

Lebih jauh, ia menyebutkan bahwa tren penyakit seperti demam berdarah lebih dipicu oleh lingkungan lembap dan genangan air akibat hujan, yang mempercepat siklus hidup nyamuk Aedes aegypti.

“Kalau dibandingkan suhu permukaan, pengaruh Aphelion itu sangat kecil. Suhu di Indonesia lebih dipengaruhi oleh pola angin, awan, dan kelembapan,” jelasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini