Bermodal niat kuat dalam mendidik adalah kunci bertahan mengajar. Itulah yang dirasakan Hery kala itu. Gaji pertama hanya Rp200 ribu.
Tidak cukup membiayai ekonomi keluarga. Agar asap dapur tetap mengepul, istrinya kadang menjadi buruh harian di pengepul ikan.
Tidak sampai hati pula Hery mengeluh, sebab warga pedalaman sangat membutuhkan kehadiran seorang guru. Sebisa mungkin warga pedalaman membuat guru yang bertugas nyaman dan betah.
Itu pula yang dirasakan Hery, meski honornya sangat jauh dari layak namun perlakuan warga sangat baik dan sopan.
Baca Juga:Nadiem Singgung Corona di Hari Guru: Setiap Peristiwa Selalu Ada Hikmah
“Kami disediakan rumah dan kadang diberi hasil tangkapan ikan mereka,” tambah Hery.
Jumlah guru yang mengajar sangat terbatas, hanya empat orang termasuk kepala sekolah. Tak heran jika satu guru bisa mengajar beberapa kelas.
Hery merangkap menjadi guru agama, pendidikan jasmani, hingga wali kelas tiga dilakukan bersamaan di sekolah itu.
Rasa Lelah kadang datang, apabila guru-guru berstatus PNS jarang datang mengajar. Beban mengajar menjadi tugas Hery sebagai guru honorer.
“Padahal di dusun itu ada guru PNS, tapi jarang masuk dan lebih sering menyuruh guru honorer. Mau tidak mau harus saya kerjakan semuanya, padahal masing-masing punya tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri,” tambah Hery.
Baca Juga:Hari Guru Nasional, Simak 13 Fakta Mengenai Guru, Yuk!
Di tahun 2000, Hery dimutasi ke Desa Muara Enggelam. Sebuah desa yang dibangun di atas aliran Sungai Enggelam yang langsung berhadapan dengan Danau Melintang.