Moratorium IKN? DPR Ingin Pastikan Proyek Tak Jadi Beban Tanpa Arah

Sejumlah dana juga telah dikucurkan, baik melalui APBN maupun investasi swasta.

Denada S Putri
Minggu, 20 Juli 2025 | 21:35 WIB
Moratorium IKN? DPR Ingin Pastikan Proyek Tak Jadi Beban Tanpa Arah
Ilustrasi Istana Garuda IKN. [Ist]

SuaraKaltim.id - Wacana penundaan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang dilontarkan oleh Partai NasDem mulai mendapat tanggapan dari parlemen.

Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir, menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap aspek ekonomi dan fiskal sebelum mengambil langkah strategis semacam itu.

Ia mengingatkan bahwa pembangunan IKN bukanlah proyek jangka pendek, melainkan bagian dari kerangka pembangunan nasional yang telah masuk dalam RPJMN dan RPJMP.

Sejumlah dana juga telah dikucurkan, baik melalui APBN maupun investasi swasta.

Baca Juga:IKN Belum Siap Gelar HUT RI, Mimpi Pindah Ibu Kota Masih Jauh?

Hal itu disampaikan Adies, di Jakarta, Jumat, 18 Juli 2025.

"Kita akan mengkaji terlebih dahulu kira-kira untung dan ruginya apabila itu disetop tidak menjadi ibu kota negara, atau itu menjadi Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur," ujar Adies disadur dari ANTARA, Minggu, 20 Juli 2025.

Menurut Adies, potensi penundaan layak dipertimbangkan apabila target pertumbuhan ekonomi yang dipatok sebesar delapan persen dalam lima tahun ke depan tidak tercapai.

Di sisi lain, beban anggaran IKN juga harus diperhitungkan secara matang.

"Jadi kalau ada perubahan itu kan harus dibicarakan kembali antara pemerintah dan DPR, kemudian juga dilihat untung ruginya seperti apa," imbuhnya.

Baca Juga:Sinergi Kreatif: PPU dan DIY Satukan Kekuatan Ekraf Menuju IKN

Sebelumnya, Partai NasDem menyuarakan usulan moratorium atau jeda sementara dalam pembangunan IKN.

Alasannya, pemerintah dinilai perlu menyesuaikan pembangunan dengan kondisi fiskal nasional dan urgensi pembangunan prioritas lainnya.

NasDem juga menyoroti belum adanya Keputusan Presiden (Keppres) tentang pemindahan ibu kota negara, yang merupakan amanat dari Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 2022.

Tanpa Keppres ini, aspek legal pengalihan fungsi ibu kota dari Jakarta ke Nusantara masih dinilai belum tuntas.

Soal Tambang di IKN, Bahlil: Bukan Domain Kami, itu Aparat

Kasus tambang batubara ilegal di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Soeharto yang berada dalam wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN) kembali menjadi sorotan nasional.

Kerugian negara yang ditimbulkan ditaksir mencapai Rp 5,7 triliun.

Namun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa urusan tambang ilegal sepenuhnya berada di bawah kewenangan aparat penegak hukum.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan, kementeriannya hanya memiliki kewenangan terhadap aktivitas pertambangan yang telah memiliki izin usaha pertambangan (IUP).

Sementara praktik tambang ilegal sepenuhnya menjadi domain Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Hal itu disampaikan Bahlil saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jumat, 18 Juli 2025.

"Kalau tidak ada izinnya kan bukan merupakan domain kami, itu aparat penegak hukum," ujar Bahlil disadur dari WartaEkonomi.co.id--Jaringan Suara.com, Minggu, 20 Juli 2025.

Pengungkapan aktivitas tambang ilegal di wilayah penyangga IKN itu dilakukan Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri.

Direktur Tindak Pidana Tertentu, Brigjen Pol Nunung Syaifuddin, membeberkan bahwa kegiatan ilegal tersebut telah berlangsung sejak 2016.

"Jadi total sementara, estimasi sementara, sedikitnya sudah terjadi kerugian senilai Rp 5,7 triliun," ujar Nunung dalam konferensi pers, Kamis, 18 Juli 2025.

Rincian kerugian mencakup potensi pendapatan dari batubara yang hilang sebesar Rp 3,5 triliun, serta kerusakan kawasan hutan seluas lebih dari 4.200 hektare yang ditaksir senilai Rp 2,2 triliun.

Nunung menyebut pengungkapan ini berawal dari laporan masyarakat terkait aktivitas penambangan di kawasan tanpa izin.

Dalam operasinya, pelaku membeli batubara dari lokasi ilegal, mengemasnya dalam karung, lalu memasukkan ke dalam kontainer.

Proses pengiriman dilakukan melalui Pelabuhan Kaltim Kariangau Terminal menuju Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.

Menariknya, batu bara tersebut dikirim menggunakan dokumen sah milik perusahaan berizin, seolah-olah berasal dari tambang resmi.

"Dokumen tersebut (pengiriman batu bara) digunakan seolah-olah, ini perlu digarisbawahi bahwa dokumen tersebut digunakan seolah-olah batu bara tersebut berasal dari penampangan resmi atau pemegang IUP," ungkap Nunung.

Dalam kasus ini, Polri telah menetapkan tiga tersangka: YH sebagai penjual utama batubara ilegal, CH sebagai perantara penjualan, dan MH sebagai pembeli dan pengirim batu bara ke luar daerah.

Ketiganya dijerat Pasal 161 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dengan ancaman lima tahun penjara dan denda maksimal Rp 100 miliar.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini