- Gunakan NMAX Putih, Penipu Gasak Belasan Ponsel dari Toko di Kukar
- Erau Berpeluang Masuk Kalender KEN, Kemenparekraf Siapkan Standar Penilaian
- DPRD Kukar Siapkan Perda Khusus LGBT, Imbas Kasus Pesantren
SuaraKaltim.id - Perhelatan Erau 2025 di Kutai Kartanegara (Kukar) sudah digelar.
Tidak hanya sebagai pesta rakyat, tetapi juga ruang penting untuk memastikan seni tradisional tetap hidup di tengah gempuran budaya modern.
Dalam rapat technical meeting Lomba Seni Budaya Kutai yang berlangsung di Ruang Serbaguna Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kukar, Rabu, 17 September 2025, panitia menetapkan empat kategori lomba utama: Tarsul, tari Jepen, musik tingkilan, dan lagu Kutai.
Kepala Bidang (Kabid) Kebudayaan Disdikbud Kukar, Puji Utomo, menegaskan bahwa ajang ini memang dirancang untuk menampilkan bentuk asli dari seni khas daerah.
Baca Juga:Gerakan 0 sampai 6 Tahun Tanpa Gawai, Upaya Kukar Siapkan Generasi Emas IKN
“Kalau lagu Kutai, misalnya, yang diperlombakan adalah versi tingkilan yang tradisional, bukan versi modern. Kami ingin menampilkan kembali bentuk aslinya,” jelas Puji, disadur dari kaltimtoday.co--Jaringan Suara.com, Senin, 22 September 2025.
Ia menambahkan, fokus tahun ini bukan pada modifikasi atau inovasi seni, melainkan pada pelestarian.
Total hadiah senilai Rp 70 juta pun disiapkan sebagai bentuk apresiasi.
“Ini bagian dari tugas kami, pembinaan dan pelestarian budaya,” ujarnya.
Perlombaan sudah dimulai sejak Minggu, 20 September 2025 dan berlangsung sepekan.
Baca Juga:Kukar Pangkas Anggaran Seremonial demi Pembangunan dan Sinergi dengan IKN
Meskipun terbuka untuk semua kalangan, panitia membatasi peserta maksimal 20 orang per kategori demi menjaga kualitas dan durasi pertunjukan.
“Setiap kategori maksimal 20 peserta. Kalau tidak dibatasi, pesertanya bisa luar biasa banyak. Selain itu, durasi waktu juga jadi pertimbangan,” terang Puji.
Aturan pun dibuat ketat. Peserta Tarsul wajib menulis syair sendiri dan dilarang menyelipkan unsur SARA, sedangkan penampilan tari Jepen harus sesuai pakem tradisional dengan durasi maksimal lima menit.
“Durasi tarian juga maksimal lima menit. Biasanya musik dari YouTube bisa lebih panjang, jadi kami batasi,” tambahnya.
Puji berharap lomba ini bisa lebih dari sekadar tontonan, tetapi juga pendidikan budaya.
“Harapan kami, musik-musik tradisional seperti tingkilan bisa dikenal kembali. Dengan begitu, generasi sekarang bisa menikmati seni yang diwariskan sejak zaman dulu,” pungkasnya.