-
Pemprov Kaltim menghadapi ancaman pengetatan fiskal pada 2026 akibat proyeksi penurunan Dana Bagi Hasil (DBH) dari Rp 6–7 triliun menjadi hanya sekitar Rp 1,6 triliun, yang berpotensi menghambat pembangunan daerah penghasil sumber daya nasional.
-
Akademisi menilai pemangkasan DBH mencerminkan ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah, terutama ketika anggaran nasional lebih banyak terserap untuk proyek dan birokrasi pusat, termasuk megaproyek IKN.
-
Kritik diarahkan pada kebijakan pusat yang dinilai tidak adil dan tidak transparan, dengan desakan agar efisiensi dimulai dari pemerintah pusat—bukan terus menekan daerah yang sudah menanggung beban lingkungan dan infrastruktur akibat proyek nasional.
“Dari tambang ilegal, hutan yang rusak, sampai banjir, semua ditanggung daerah. Tapi anggaran justru banyak terserap untuk megaproyek seperti IKN,” kritiknya.
Ia juga menyoroti kenaikan tunjangan kinerja (tukin) kementerian yang tidak sejalan dengan kondisi fiskal di daerah.
“Kalau efisiensi jadi alasan, mestinya dimulai dari pusat. Tukin bisa naik 300 persen, sementara dosen dan ASN daerah masih menunggu gaji cair,” sindirnya.
Menutup pandangannya, Purwadi mendesak evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan fiskal nasional.
Baca Juga:PPU Perkuat Ekonomi Hijau Lewat Bank Sampah di Kawasan IKN
“Kalau harus ada pemangkasan, lakukan secara adil. Jangan terus daerah yang ditekan. Negara ini perlu dikelola dengan serius, bukan sekadar retorika,” pungkasnya.