SuaraKaltim.id - Demontransi yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa dari Aliansi Mahakam Kaltim di depan Kantor DPRD Kaltim yang menuntut penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja, berujung dibubarkan dengan tindakan represif oleh aparat kepolisian.
Humas Aksi Aliansi Mahakam Yohanes Richardo Nanga Wara mengutuk tindakan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian dan mendesak segera bebaskan tujuh masa aksi.
Dia mengemukakan, tindakan brutalitas petugas saat menangkap peserta aksi yang berujung terjadi penganiayaan mulai dari tendangan hingga pukulan tidak pantas dilakukan aparat penegak hukum.
"Kami dari Aliansi Mahakam (Mahasiswa Kaltim Menggugat) Kaltim mengutuk keras tindakan brutalitas yang dilakukan oleh aparat kepolisian," ungkapnya Kamis (5/11/2020) malam.
Akibat tindak kekerasan kepolisian, sejumlah mahasiswa sampai harus mengalami patah tulang di bagian jari. Selain itu, Ricardo turut menyebutkan tujuh rekannya yang masih ditahan.
"Kawan kami diculik, diinjak, diinjak, diseret, dipukul, rambutnya tanpa adanya rasa kemanusiaan oleh aparat, sebagian banyak dari kawan kita juga masuk rumah sakit salah satu korban patah jari tangan, inilah hilang nilai kemanusiaannya," ucapnya.
Ditangkap Polisi yang Menyamar
Ricardo mengatakan, tujuh rekannya itu ditangkap oleh polisi yang sedang menyamar sebagai wartawan.
"Kami menduga wartawan yang menangkap rekan kami itu adalah penyusup yang tak lain adalah polisi. Kami sempat mengira mereka wartawan yang sedang bertugas," katanya.
Baca Juga: Penolak Omnibus Law Ditangkap Polisi yang Menyamar Jadi Wartawan
Cara kepolisian yang menyamar sebagai wartawan dan menangkap satu persatu peserta aksi sangat disayangkan. Karena cara itu melecehkan dan dapat mengkambinghitamkan jurnalis yang sedang bertugas.
"Tentunya massa yang melihat itu akan berpikiran negatif, kenapa wartawan sampai harus menangkap kami. Sedangkan wartawan berada di posisi yang netral. Ini tentunya sangat melecehkan wartawan yang sedang bertugas," ungkapnya.
"Tapi sudah kami pastikan, bahwa yang menangkap rekan-rekan kami itu bukanlah wartawan. Melainkan petugas yang menyamar sebagai wartawan," imbuhnya.
Lanjut Richardo mengatakan, terkait tindakan represif aparat telah mencederai kebebesan berpendapat dan menyampaikan ekspresi. Sedangkan hal itu, telah dilindungi dan diatur oleh UUD 1945 pasal 28 E.
"Kami punya tujuan jelas untuk masuk ke dalam gedung rakyat (DPRD Kaltim), untuk menggelar sidang rakyat dan setelah itu membacakan poin-poin klaster Omnimbus Law yang kami anggap bermasalah.
"Tapi kami justru dihadapkan dengan aparat yang seolah sebagai tameng, alat dari kekuasaan. Kami mendesak segera bebaskan tujuh kawan kami yang ditahan dan ditangkap, karena menurut kami ini bentuk matinya demokrasi, matinya keadilan, matinya nurani wakil rakyat dan aparat Kepolisian," katanya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Susunan Tim Pelatih Timnas Indonesia U-23 di SEA Games 2025, Indra Sjafri Ditopang Para Legenda
- Diskon Listrik 50 Persen PLN Oktober 2025, Begini Syarat dan Cara Dapat E-Voucher Tambah Daya!
- Shin Tae-yong Batal Comeback, 4 Pemain Timnas Indonesia Bernafas Lega
- 7 Rekomendasi Smartwatch untuk Tangan Kecil: Nyaman Dipakai dan Responsif
- 5 Bedak Padat yang Cocok untuk Usia 50 Tahun ke Atas, Samarkan Flek Hitam
Pilihan
-
Harga Emas Sabtu 25 Oktober 2025: Antam Masih 'Hilang', UBS dan Galeri 24 Menguat
-
Superkomputer Prediksi Arsenal Juara Liga Champions 2025, Siapa Lawan di Final?
-
Bayar Hacker untuk Tes Sistem Pajak Coretax, Menkeu Purbaya: Programmer-nya Baru Lulus SMA
-
Perbandingan Spesifikasi HONOR Pad X7 vs Redmi Pad SE 8.7, Duel Tablet Murah Rp 1 Jutaan
-
Di GJAW 2025 Toyota Akan Luncurkan Mobil Hybrid Paling Ditunggu, Veloz?
Terkini
-
Anda Lemas dan Cepat Lelah? Mungkin Mengalami Penyakit Ini
-
BMKG: Pasang Laut Maksimum di Kaltim Terjadi 2130 Oktober, Jangan Abai Peringatan!
-
Zakat Jadi Penopang Sosial Baru di Wilayah Penyangga IKN
-
Internet Gratis Menyapa Pelosok Kukar, Kaltim Percepat Akses Digital Desa
-
Masjid Banyak Belum Bersertipikat, Pemerintah Waspadai Potensi Konflik Lahan di Kaltim