Jumlah guru yang mengajar sangat terbatas, hanya empat orang termasuk kepala sekolah. Tak heran jika satu guru bisa mengajar beberapa kelas.
Hery merangkap menjadi guru agama, pendidikan jasmani, hingga wali kelas tiga dilakukan bersamaan di sekolah itu.
Rasa Lelah kadang datang, apabila guru-guru berstatus PNS jarang datang mengajar. Beban mengajar menjadi tugas Hery sebagai guru honorer.
“Padahal di dusun itu ada guru PNS, tapi jarang masuk dan lebih sering menyuruh guru honorer. Mau tidak mau harus saya kerjakan semuanya, padahal masing-masing punya tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri,” tambah Hery.
Di tahun 2000, Hery dimutasi ke Desa Muara Enggelam. Sebuah desa yang dibangun di atas aliran Sungai Enggelam yang langsung berhadapan dengan Danau Melintang.
Seluruh rumah dibangun di atas rakit. Tak ada daratan. Tidak ada akses darat. Namun Hery lebih bersyukur kala itu, sebab kampung itu adalah kampung istrinya.
“Lebih bersyukur, meski lebih jauh dari tugas sebelumnya, namun di desa ini merupakan kampung istri. Jadi bisa lebih nyaman,” kata Hery.
Sama seperti di tempat sebelumnya, guru PNS selalu mengambil libur kepanjangan. Apalagi kebanyakan guru tersebut bukan asli dari Muara Enggelam, sehingga semua pekerjaan dilimpahkan ke Hery.
“Sama saja kisahnya, saya harus menanggung beban mengajar lebih banyak,” kisahnya.
Baca Juga: Nadiem Singgung Corona di Hari Guru: Setiap Peristiwa Selalu Ada Hikmah
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Hery bekerja serabutan. Menjadi nelayan tangkap air tawar adalah solusi terbaik kala itu. Dia juga sempat berburu kura-kura, bahkan sempat bekerja untuk NGO asing.
Menurut dia, masalah gaji kecil dan bertugas di pedalaman bukanlah hal mudah. Terlebih, harga kebutuhan sehari-hari tentu jauh lebih mahal. Kebutuhan susu juga mendesak karena anak sulungnya masih Balita.
“Pernah suatu kali kadaan sangat mendesak. Saya minta izin untuk mengajar tiga hari saja, sisanya saya gunakan untuk usaha apa saja. Alhamdulillah waktu itu kepala sekolah mengizinkan. Karena dia juga paham kondisi keluarga saya,” ungkapnya.
Derita lain menjadi guru honorer adalah gaji yang tidak tepat waktu. Bahkan kadang harus menunggu berbulan-bulan baru honor itu datang. Meski dirapel, tapi kebutuhan sehari-hari tak bisa menunggu rapelan.
“Pergantian nama dari PTT ke T3D (Tenaga Tidak Tetap Daerah) terasa sekali lelahnya jadi guru honorer. Gajian selalu tertunda, harus sabra,” kata Hery.
Sebenarnya, perubahan nama pada tahun 2001 itu berkah buat guru honorer karena gaji naik menjadi Rp325 ribu. Tak lama berselang naik lagi menjadi Rp480.480. Jumlah gaji yang gampang diingat dan bakal selalu dikenangnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas Selevel Innova Budget Rp60 Jutaan untuk Keluarga Besar
- 5 Pilihan Ban Motor Bebas Licin, Solusi Aman dan Nyaman buat Musim Hujan
- 5 HP Memori 128 GB Paling Murah untuk Penggunaan Jangka Panjang, Terbaik November 2025
- 5 Mobil Keluarga Bekas Kuat Tanjakan, Aman dan Nyaman Temani Jalan Jauh
- Cara Cek NIK KTP Apakah Terdaftar Bansos 2025? Ini Cara Mudahnya!
Pilihan
-
Menkeu Purbaya Mau Bekukan Peran Bea Cukai dan Ganti dengan Perusahaan Asal Swiss
-
4 HP dengan Kamera Selfie Beresolusi Tinggi Paling Murah, Cocok untuk Kantong Pelajar dan Mahasiswa
-
4 Rekomendasi HP Layar AMOLED Paling Murah Terbaru, Nyaman di Mata dan Cocok untuk Nonton Film
-
Hasil Liga Champions: Kalahkan Bayern Muenchen, Arsenal Kokoh di Puncak Klasemen
-
Menkeu Purbaya Diminta Jangan Banyak Omon-omon, Janji Tak Tercapai Bisa Jadi Bumerang
Terkini
-
5 Mobil Bekas 50 Jutaan Bukan Toyota buat Anak Muda, Hemat dan Bertenaga
-
Penerimaan Pajak Kaltim Capai Rp16,24 Triliun, Berikut Rinciannya
-
4 Mobil Matic Bekas Kabin Luas: Muat Banyak Keluarga, Aman di Segala Medan
-
Dari Samarinda Menuju IKN: SDM Peneliti Muda Mulai Disiapkan
-
Ratusan Guru Honorer di Kaltim Terganjal Administrasi Menjadi PPPK