Scroll untuk membaca artikel
Yovanda Noni
Selasa, 01 Desember 2020 | 08:27 WIB
Irene (62), penyintas kanker dari PPU. Berhasil sembuh setelah melawan dua kanker ganas. [Foto: Yovanda]

SuaraKaltim.id - Siang itu, cuaca panas menembus dinding rumah Irene di Kawasan Gersik, Penajam Paser Utara (PPU). Irene baru saja selesai mencuci pakaian. Renta berusia 62 tahun itu, lantas beristirahat sembari menerima kehadiran suara.com.

“Maaf rumahnya seadanya, silahkan duduk,” kata dia menyilahkan duduk. Irene adalah penyintas kanker. Dia pernah melewati masa-masa kritis menderita kanker payudara dan tumor ganas di bagian Rahim.

Kala itu usianya masih muda, sekira 40 tahun. “Pertama kali menderita kanker payudara. Masih ingat bagaimana benjolan itu tumbuh di bagian dada kiri saya,” sebutnya.

Benjolan itu, kata dia, sebesar ibu jari orang dewasa. Namun dia berdetak seperti benda hidup. Irene kaget, dia kerap mengompres dada itu dengan tutup panic yang panas.

Baca Juga: Rutin Konsumsi Minyak Zaitun, Bisa Cegah Stroke Hingga Kanker

“Semula saya kira itu urat kejepit. Jadi saya kompres panas-panas,” imbuhnya. Ketakutan itu semakin jadi ketika tubuhnya mulai terasa berat. Dia memberanikan diri periksa ke dokter di klinik perusahaan tempat suaminya bekerja.

“Kami kan terisolir dulunya, di Gersik ini ada perusahaan PT Inne Donghwa yang punya klinik karyawan. Semua keluarga karyawan kalua sakit ya Cuma bisa ke klinik. Kalau parah, baru dapat surat pengantar ke RSUD Kota Balikpapan,” jelasnya.

Waktu periksa, dokter di klinik tersebut lantas memberi surat pengantar. Irene disarankan periksa ke RSUD Kota Balikpapan. Hatinya semakin gundah, dia mulai berfikir benda apa yang tumbuh di dada kirinya.

“Dokter yang ngasih surat pengantar berupaya menenangkan, tapi saya tetap ketakutan. Besoknya saya langsung ke RSUD Kanudjoso Djatiwibowo Balikpapan,” katanya.

Sesampainya di sana, Irene langsung mengikuti alur pendaftaran RS. Yang semula ke dokter umum, lalu dipindah ke dokter bedah.

Baca Juga: Buat Kamu, Ini 5 Bahan Makanan Sehat untuk Mencegah Kanker Payudara

Dia tidak mengerti kenapa harus berganti dokter. Dia tetap berdoa dalam hati, agar benda tersebut bukan sesuatu yang mengerikan.

Namun, naas tak dapat ditolak. Dokter menyebut bend aitu adalah kanker yang bersarang di payudara Irene. Hanya dalam waktu 3 bulan, kanker itu nyaris masuk stadium 2.

Irene terjatuh, dia mengira hari itu dunia telah kiamat. Pasalnya kanker termasuk salah satu penyakit yang menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia.

“Saya menangis di tempat, dokter terus menyemangati agar saya kuat. Saya masih ingat dokter ikut berdoa, do aitu malah membuat saya semakin menangis,” ujarnya.

Dia hanya diberi waktu satu hari untuk Kembali ke Gersik, PPU. Dia harus menyeberang dari Balikpapan menggunakan kapal perusahaan. Kapal itu milik warga lokal di Jenebora I yang disewa PT Inne Donghwa untuk angkutan dari Gersik ke Balikpapan.

“Suami saya hanya buruh kayu di pabrik, saya mikir bagaimana operasinya, uang makan bagaimana. Anak saya di rumah bagaimana, apalagi dia masih sekolah mau masuk SMP,” ujarnya.

Namun dia tetap memutuskan operasi karena perintah suaminya. Dia memberanikan diri membawa baju seadanya, dan berangkat sendiri ke Balikpapan. Sementara suaminya menyusul setelah pulang kerja.

“Saya waktu itu masih bisa kemana-mana sendirian. Saya harus hidup untuk suami saya, demi anak tunggal saya yang masih kelas 6 SD. Waktu itu dia menghadapi ujian sekolah. Saya berdoa, saya harus sembuh,” ungkapnya.

Operasi pertama berjalan lancar. Namun dokter melihat ada yang tak beres dengan kanker yang telah dikeluarkan. Hasil rontgen menunjukkan, kanker itu memiliki jaringan nyaris ke bagian leher. Dokter yang mengoperasi Irene memutuskan mengirimkan kanker itu ke Kota Surabaya.

“Hasilnya tambah parah, kanker itu ganas. Dia cepat merayap dan merusak semua sel-sel saya. Waktu saya control, dokter langsung menahan saya di RS. Saya harus menjalani operasi pengangkatan payudara bagian kiri. Lagi-lagi kiamat,” jelasnya.

Atas izin suaminya, Irene lalu menjalani operasi yang ke dua. Payudara bagian kiri itu diangkat sebesar isi perut manusia. Melihat payudara ibunya, anak sematawayangnya pingsan. Apalagi mendengar payudara itu harus dikubur di kuburan.

“Kanker payudara ini melewati 3 kali operasi. Operasi yang ke tiga adalah kesalahan bidan di klinik tempat saya membuka benang jahitan. Operasinya robek, saya bersimbah darah dan mengucur ke dari bekas jahitan. Saya nyaris mati waktu itu,” ungkapnya.

Setelah tiga kali melewati operasi besar, Irene dinyatakan sembuh pada bulan ke tiga pasca operasi pertama. Dia juga menjalani kemoterapi yang membuat rambutnya rontok dan beruban.

10 tahun kemudian, dia sakit lagi. “10 tahun kemudian saya diserang tumor ganas di bagian Rahim. Dikira orang saya kena santet. Karena perut saya membesar dan sakitnya seperti orang melahirkan,” ujarnya.

Operasi itu juga tak kalah mengerikan. Tumor itu diangkat beserta rahim Irene.  Dia juga harus melewati kemoterapi selama 1 bulan di RS. Berbulan-bulan menjadi pasien dokter bedah, Irene merasa seperti orang gila.

“Saya tidak sempurna. Saya tidak punya payudara kiri, saya juga tidak punya rahi,. Yag saya fikirkan, apakah suami saya mau bertahan? Apalagi saya sudah menopause,” sebutnya.

Beruntung, suaminya menyayanginya. Mereka tetap melanjutkan hidup sebagai keluarga. Walau mereka berbeda agama, namun hingga anak sematawayangnya menikah, keduanya masih bertahan menjadi suami istri.

“Suami saya Katholik, sementara saya dan anak muslim. Suami saya adalah suami terbaik, bekerja dengan hati ikhlas dan menerima saya apa adanya. Saya sudah melewati dua kali operasi, yang dua-duanya besar. Tapi doa dan niat kesembuhan adalah upaya untuk sembuh,” ungkapnya.

Kini Irene hanya tinggal menikmati masa tuanya. Suaminya juga sudah lama pensiun dari pabrik tempat dia bekerja. Dia berpesan untuk semua penderita kanker agar tetap semangat menjalani penyembuhan.

Load More