Scroll untuk membaca artikel
Denada S Putri
Kamis, 12 Juni 2025 | 17:06 WIB
Ilustrasi banjir samarinda 2025. [Ist]

SuaraKaltim.id - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim) menilai pengendalian banjir tak bisa lagi dilakukan secara terpisah-pisah.

Wakil Gubernur (Wagub) Kaltim Seno Aji menyebut, dibutuhkan pendekatan menyeluruh terhadap pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) lintas kabupaten/kota sebagai kunci untuk menekan risiko banjir, terutama di kawasan rawan seperti Samarinda.

Dalam forum diskusi kelompok terpumpun (FGD) yang digelar bersama Unit Layanan Strategis Ekosistem Tropis dan Pembangunan Berkelanjutan (TESD) Unmul Samarinda, Seno menegaskan bahwa penanganan Sub-DAS Karang Mumus tidak cukup bila tidak diikuti dengan pengelolaan sistem DAS skala besar lainnya.

"Jika kita mampu membedah dan mengelola keempat wilayah sungai ini, seharusnya kita dapat mengendalikan banjir," ujar Seno Aji dalam FGD tersebut, disadur dari ANTARA, Kamis, 12 Juni 2025.

Baca Juga: Birokrasi Masuk Era Digital: Pemprov Kaltim Mulai Nimbrung di Media Sosial

Empat wilayah sungai yang dimaksud adalah Sungai Berau Kelai, Karangan, Mahakam, dan Kendilo—masing-masing memiliki karakteristik tersendiri namun saling terhubung dalam sistem hidrologis Kaltim.

Seno juga menyoroti pentingnya pembagian kewenangan pengelolaan, yang mencakup level pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

Ketimpangan dalam implementasi acap kali membuat upaya normalisasi dan konservasi berjalan tidak maksimal.

Kondisi ini diperparah oleh penurunan daya tampung danau-danau besar di DAS Mahakam, seperti Danau Jempang, Melintang, dan Semayang.

Ketiganya mengalami sedimentasi berat hingga volume penampungan air menurun drastis.

Baca Juga: Siap Sambut Tahun Ajaran Baru, Disdikbud Kaltim Kawal Ketat SPMB 2025/2026

"Ini menjelaskan mengapa banjir dari Mahakam sering terjadi dalam 15–20 tahun terakhir, karena ketiga danau ini tidak dikeruk," katanya.

Sementara itu, pembukaan lahan dan alih fungsi tutupan hutan turut meningkatkan debit air ke sungai, memperpendek waktu aliran permukaan, dan menyebabkan limpasan air lebih cepat ke permukiman.

Di sisi lain, buruknya sistem drainase kota, seperti di Samarinda, membuat air tak memiliki jalur keluar yang efektif.

"Jika masih punya sampah, jangan dibuang di selokan," tambahnya, mengingatkan pentingnya peran masyarakat dalam mendukung pengelolaan banjir.

Pemprov Kaltim sendiri telah menargetkan sejumlah indikator pengendalian banjir hingga 2030, mulai dari pengurangan luas genangan hingga hampir 3.000 hektare, perbaikan irigasi, hingga penanganan drainase sebesar 68 persen.

Anggaran yang disiapkan mencapai Rp 379 miliar.

Program ini tidak hanya difokuskan di Samarinda, tetapi juga menjangkau daerah lain seperti Balikpapan, Bontang, Kutai Timur (Kutim), dan Berau.

Salah satu langkah konkret dalam waktu dekat adalah normalisasi Sungai Karang Asam di Samarinda.

Di akhir paparannya, Seno kembali menekankan pentingnya sinergi lintas sektor dan teknologi untuk mendukung perencanaan berbasis data.

"Kita butuh sistem informasi geografi (SIG) untuk mendukung bagaimana daerah tangkapan air dibuat dan ke mana larinya air," tuturnya.

6 Daerah di Kaltim Terlibat Program Oplah, Targetkan Swasembada Pangan

Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) terus memperkuat kontribusinya terhadap ketahanan pangan nasional dengan mengoptimalkan lahan pertanian rawa seluas hampir 14 ribu hektare pada tahun 2025.

Langkah ini menjadi bagian dari program nasional optimalisasi lahan (oplah) yang menyasar daerah-daerah potensial di berbagai kabupaten/kota di Kaltim.

Kepala Dinas Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura (DPTPH) Kaltim, Siti Farisyah Yana, menjelaskan bahwa seluruh lokasi kegiatan telah ditentukan berdasarkan dokumen Survei Investigasi Desain Optimasi Lahan Rawa.

Hal itu disampaikan Yana saat berada di Samarinda, Rabu, 11 Juni 2025.

“Program Oplah dilaksanakan di lokasi terpilih, yakni lokasi yang telah dimuat dalam dokumen Survei Investigasi Desain Optimasi Lahan Rawa,” ujar Yana disadur dari ANTARA, Kamis, 12 Juni 2025.

Ada enam daerah yang terlibat dalam program ini. Di antaranya Kutai Kartanegara (2.392 ha, 12 Brigade Pangan), Berau (895 ha, 5 BP), Kutai Timur (1.200 ha, 6 BP), Samarinda (440 ha, 2 BP), Penajam Paser Utara (5.896 ha, 29 BP), dan Paser (3.150 ha, 16 BP). Total ada 70 Brigade Pangan (BP) yang diterjunkan untuk mendukung pelaksanaan program ini.

Program Oplah menyasar lahan dengan karakteristik rawa pasang surut maupun rawa lebak, dengan prioritas pada area yang selama ini belum mencapai dua kali masa tanam per tahun (Indeks Pertanaman < 200).

Selain itu, lahan harus bebas dari konflik, tidak masuk kawasan hutan atau lahan gambut yang berada dalam moratorium, serta memiliki sumber air untuk mendukung budidaya.

“Kemudian lokasi oplah harus dilengkapi dengan poligon shapefile (shp) sesuai dengan luasan lahan yang akan dilaksanakan kegiatan peningkatan produksi pertanian ini,” ujarnya.

Tak hanya aspek teknis lahan, pemerintah juga menaruh perhatian terhadap kesiapan petani.

Program ini hanya akan melibatkan petani aktif yang tergabung dalam kelompok tani yang siap menjalankan panduan teknis secara konsisten.

“Kemudian kelompok tani tersebut menyatakan sanggup melaksanakan kegiatan dan ketentuan dalam petunjuk teknis dan ketentuan lainnya,” kata Yana lagi.

Dengan optimalisasi ini, Kaltim diharapkan tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan pangan lokal, tetapi juga menyumbang pasokan untuk wilayah lain.

Khususnya dalam mendukung ketahanan pangan nasional di tengah tantangan perubahan iklim dan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

Load More