SuaraKaltim.id - Pemkot Samarinda benar-benar serius ingin membangun terowongan. Selasa (10/8/2021), Wali Kota Samarinda Andi Harun beserta jajarannya, meninjau lokasi rencana pembangunan terowongan tersebut. Dimana ada di sekitaran Bukit Selili, tepatnya di Jalan Kakap, Samarinda Ilir.
Pembangunan terowongan bertujuan memecah kemacetan di Jalan Otto Iskandar, Sungai Dama, sekaligus mengurangi risiko kecelakaan lalu lintas di kawasan Gunung Manggah. Terowongan itu, nantinya akan menghubungkan Jalan Kakap dan Jalan Sultan Alimuddin antara dua kelurahan di Samarinda itu.
Dari tinjauan Pemkot Samarinda, lokasi tersebut masih merupakan kawasan pemukiman warga. Sehingga pemkot mempertimbangkan pembebasan lahan untuk realisasi pembangunan terowongan.
Dari informasi yang dihimpun Presisi.co--Jaringan Suara.com, pembangunan terowongan akan menghabiskan biaya sekitar Rp 450 miliar menggunakan skema pembiayaan tahun jamak atau dikenal multiyears contract (MYC) oleh Pemkot Samarinda.
Baca Juga:Gandeng Nevertoolavish, Borneo FC Ingin Tampil Lebih Muda dan Menggoda
Pembangunan terowongan apakah satu-satunya opsi?
Dosen asal Universitas Mulawarman (Unmul) Sri Mulyanti mempertanyakan apakah pembangunan terowongan itu satu-satunya langkah pemkot mengurai macet dan risiko lakalantas. Terutama soal kondisi geologis yang perlu dipertimbangkan Pemkot Samarinda, saat membangun terowongan tersebut.
Menurutnya, secara sosial pada permukaan, pilihan pembangunan terowongan seolah bisa meminimalisasi dampak sosial yang timbul. Sri yang hadir saat diskusi publik bersama wali kota dan mahasiswa Ikatan Ahli Geologi Indonesia (SM-IAGI) di salah satu hotel di Jalan Imam Bonjol, (Minggu 27/6/2021) lalu mengutarakan, wali kota menekankan dengan membangun terowongan bisa menghindarkan mekanisme ganti rugi lahan. Yang sangat rawan konflik sosial berkepanjangan.
"Selain menghindari persoalan konflik tanah, juga menghindari banyak penduduk yang kehilangan mata pencarian terutama pedagang kecil, jika pilihan solusinya jalan layang," ucap Sri.
Ia memaparkan, ada aspek sosial lain yang perlu diperhatikan soal budaya berkendara masyarakat. Pertama, menyangkut persoalan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, dan kedua soal kultur masyarakat yang akan menggunakan jalan layang.
Baca Juga:Siap Terima Keluhan Soal Belajar Daring, Disdik Samarinda: Di WhatsApp Saya Juga Tidak Apa
Seperti diketahui, sebelumnya Pemkot Samarinda membuat dua opsi untuk mengurai kemacetan di Jalan Otto Iskandar dan mengurangi risiko lakalantas di Gunung Manggah itu. Yakni dengan membangun jalan layang atau flyover, yang diperkirakan menghabiskan anggaran sebanyak Rp 750 miliar.
Pengamat tata kota: Hitung dulu hambatannya
Pengamat tata kota Farid Nurrahman menilai pembangunan terowongan dari sisi transportasi merupakan upaya yang bagus. Tinggal, apakah nantinya membebani pembiayaan Pemkot Samarinda dengan seabrek masalahnya. Atau, pembangunan terowongan memang alternatif yang sudah diprioritaskan.
"Harus dihitung dulu hambatannya apa saja. Seberapa besar jalannya menampung kendaraan yang bakal lewat nanti. Itu dihitung dulu," ungkap Farid.
Menurutnya, jika sudah dihitung, baru kemudian dicarikan langkah alternatif melalui metode parsial. Dengan melihat dari pola kekurangan opsi pembangunan, mana alternatif jalan yang kiranya bisa menjadi jalur alternatif.
Farid menyebut, identifikasi diperlukan untuk melihat mana opsi yang sedikit potensi timbul masalah sosialnya. Bisa jadi, menurutnya, biaya pembangunan terowongan lebih besar daripada jalan layang.
"Mungkin karena konflik sosialnya saja yang lebih kecil daripada opsi jalan layang," pungkasnya.