"Olehnya, membungkam dan berupaya mematikan gaya bahasa metafor berarti berupaya mematikan kecerdasan dan intelektualitas sang empunya metafor," lanjut para dosen menilai.
Sri menjelaskan, adapun sarkasme sendiri, serupa dengan kata-kata pedas, cemoohan, atau ejekan yang biasanya dibungkus dengan perumpamaan dan sedikit humor. Dalam tradisi kritik, selain satire dan sinisme, sarkasme juga kerap digunakan untuk mengekspresikan rasa kesal dan amarah. Sementara dalam kapasitas pejabat publik, sarkasme itu adalah hal yang lumrah. Terlebih kepada pejabat publik yang cenderung menutup mata dan telinga atas berbagai persoalan rakyat.
"Yang tidak lumrah adalah, justru pejabat publik yang tipis telinga, anti kritik, bereaksi berlebihan, dan punya kebiasaan menyerang balik para pengkritiknya," kata Sri bersama para dosen.
Dosen-dosen kemudian melanjutkan, terkait dengan diksi "patung istana merdeka", mestinya publik memahami konteks dibaliknya. Sri menyebut, hal itu sudah dijawab oleh BEM KM Unmul dalam beberapa kesempatan. Intinya, kata dia, Wakil Presiden dianggap terkesan lebih berdiam diri dan menghindar dari riuhnya protes publik terhadap kebijakan pemerintah yang selama ini jauh dari harapan publik.
Baca Juga:Pembukaan Peparnas Papua, Wapres Ma'ruf Amin: Selamat Berkompetisi, Bangun Sportivitas
"Padahalnya layaknya Presiden, Wakil Presiden juga dipilih langsung oleh rakyat, sehingga memiliki tanggung jawab penuh untuk bertindak memperjuangkan kepentingan rakyat. Jadi mutlak, kalimat metaforik bernada sarkastik "patung istana merdeka" ini adalah kritik kepada Wakil Presiden yang dianggap gagal menjalankan fungsinya, bukan terhadap pribadinya," lanjut Sri.
Para dosen pun dikatakan Sri turut mengkritik pihak kampus Universitas Mulawarman yang terkesan kehilangan marwahnya sebagai wadah akademik. Sebanyak 16 dosen ini menilik, kampus Unmul tempat BEM KM bernaung, justru memberikan respon di luar dugaan. Dalam akun instagram resminya, Unmul menyampaikan release terbuka terkait dengan unggahan BEM KM pada Jumat, 5 November 2021 kemarin.
Dari 6 poin isi yang dirilis Unmul itu, 3 poin ditujukan atau berhubungan langsung dengan BEM KM, yakni menginstruksikan BEM KM untuk menghapus unggahan, meginstruksikan BEM KM untuk meminta maaf kepada Wakil Presiden, masyarakat dan Unmul sendiri, serta segera melakukan tindakan internal untuk mengambil langkah tegas kepada BEM KM.
Akan hal tersebut, Sri bersama 15 dosen lainnya menjelaskan, sikap Unmul merupakan bentuk pembatasan kebebasan berpendapat bagi civitas akademik.
"UNESCO mendefinisikan kebebasan akademik sebagai hak atas kebebasan mengajar, kebebasan berdiskusi, kebebasan melakukan penelitian termasuk menyebarluaskan hasil-hasilnya, kebebasan menyatakan pendapat secara terbuka, kebebasan dari sensor institusional, dan kebebasan untuk berpartisipasi dalam keputusan-keputusan politik, baik di dalam maupun di luar institusi pendidikan."
Baca Juga:Wapres Minta Mensos Risma Memantau Penanganan Banjir di Kota Batu
"Sikap Unmul secara kelembagaan tersebut, sangat jauh dari prinsip-prinsip kebebasan akademik yang dilindungi oleh konstitusi, khususnya Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, ataupun dari apa yang telah ditegaskan secara eksplisit dalam Universal Declaration of Human Rights, ICCPR, dan Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang HAM. Bahkan dalam aturan spesifik sendiri melalui UU 12/2012 tentang Perguruan Tinggi, pihak birokrasi kampus semestinya bertanggung jawab memastikan kebebasan akademik itu diperoleh dengan baik oleh setiap civitas akademik, bukan sebaliknya," imbuh para dosen.