Petani Sawit Kaltim Gelisah Karena Kebijakan Pemerintah Terkait Larangan Ekspor CPO

"Seminggu sebelum lebaran, kami sudah tidak bisa panen sawit. Tidak ada pengepul yang mau beli lagi," katanya.

Denada S Putri
Sabtu, 07 Mei 2022 | 19:00 WIB
Petani Sawit Kaltim Gelisah Karena Kebijakan Pemerintah Terkait Larangan Ekspor CPO
Tumpukan kelapa sawit milik warga di Kecamatan Marangkayu, Kukar yang tidak terjual. [ANTARA]

SuaraKaltim.id - Kebijakan pemerintah terkait larangan untuk ekspor CPO, minyak goreng, RBD (refined, bleached, and deodorised) palm oil, dan RBD palm olein sejak 28 April 2022 dampaknya mulai dirasakan petani sawit di Kaltim.

Meski kebijakan pemerintah ini bertujuan baik karena untuk meningkatkan ketersediaan dan menurunkan harga minyak goreng di pasar lokal, namun di sisi lain justru membuat gelisah para petani sawit.

"Seminggu sebelum lebaran, kami sudah tidak bisa panen sawit. Tidak ada pengepul yang mau beli lagi," kata salah seorang  petani sawit di Kecamatan Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) Wisnu Ponco Wisudo, melansir dari ANTARA, Sabtu (7/5/2022).

Alhasil, beberapa tandan buah sawit yang sudah sempat dipanen rusak karena tidak terjual. Akibatnya, beberapa kebutuhan lebaran yang akan ia beli untuk anak dan istri terpaksa dibatalkan karena uang hasil penjualan sawit urung diterima.

Baca Juga:Penambahan Kasus Covid-19 di Kaltim Ada 4 Orang, Hanya 3 Daerah yang Zona Hijau

Keluhan yang sama disampaikan Kalimantoro, petani sawit di Muara Badak. Bukan hanya kehilangan kesempatan mendapatkan uang untuk berlebaran. Bahkan, setelah lebaran ini, ia pun harus memutar otak untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarganya jika larangan ekspor tidak segera dicabut.

"Kami berharap pemerintah segera mencabut  atau diatur lebih baik lagi agar minyak goreng dalam negeri aman dan kami bisa menjual hasil sawit kami. Tidak seperti sekarang ini," keluhnya.

Sebelum adanya penghentian pembelian sawit oleh para pengepul, harga beli tandan buah segar (TBS) turun drastis menjadi sekitar Rp 1.800 per kg. Padahal sebelum adanya kabar larangan ekspor sawit itu, harga TBS mencapai Rp 2.900 di tingkat pengepul di desa-desa.

Seorang pengepul sawit di Marangkayu, Hary Setiawan juga mengatakan mereka tidak bisa membeli sawit karena tidak ada juga pengusaha yang mau membeli sejak adanya larangan ekspor tersebut.

"Biasa saya kirim ke Muara Badak. Tapi sekarang mereka tidak terima barang. Tentu saya tidak  mau ambil risiko. Kalau tidak terjual sawit akan rusak. Beda dengan karet," ucapnya.

Baca Juga:Ada 4 Anggota Polres Kubar Diberi Sanksi Terkait Kematian Tahanan yang Tewas Akibat Dikeroyok

Ia juga berharap kran ekspor kembali dibuka oleh pemerintah agar eksportir sawit bisa mengirim sawit lagi ke luar negeri dan mereka bisa mengais untung dari hasil perkebunan sawit tersebut.

Sementara sejumlah pengamat ekonomi nasional juga memprediksi kebijakan larangan ekspor ini tidak akan bertahan lama, sebab lambat laun kebijakan ekstrem ini juga akan berdampak kurang baik terhadap perekonomian nasional.

"Salah satunya hilangnya mata pencaharian jutaan pekerja yang bergelut di sektor kelapa sawit ini," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini