Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 21 November 2020 | 10:06 WIB
Perahu yang membawa wisatawan merapat di Dermaga Mangrove Center di Graha Indah, Balikpapan. Dulu kawasan ini adalah lahan terbuka. (Antara/Novi Abdi)

SuaraKaltim.id - Indonesia terkenal dengan sumber daya alam yang melimpah. Maka tek heran, jika dunia melirik Indonesia sebagai ladang investasi. Namun, jika terus diambil, hasil bumi juga akan habis pada waktunya. 

Aktivis lingkungan kawakan di Kalimantan Timur, Niel Makinuddin bercerita, pada tahun 2016, China menutup sejumlah tambang karst atau batu gamping di negara itu.

“Mereka rehabilitasi, dan kemudian dijadikan objek wisata,” tutur Niel dilansir dari ANTARA.

"Apa artinya?" sambung Niel, “Artinya China menyadari, bila ditambang, suatu saat karst, atau sumber daya alam itu akan habis. Tapi bila dijadikan objek wisata, maka ia selama dikelola dan dipelihara dengan baik, akan terus-menerus mendatangkan penghasilan.”

Baca Juga: Bawa Jimat Pelindung, Residivis di Balikpapan Malah Kepergok Mencuri

Itu sama dengan deposito besar sehingga pokoknya tidak perlu diganggu. Cukup diambil bunganya saja.

Karst atau batu kapur gamping adalah bahan baku semen. Semen adalah komoditi yang strategis selain menguntungkan. Karena itu ada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Semen Indonesia yang membawahkan sejumlah nama terkenal produsen semen, seperti Semen Padang, Semen Gresik, Semen Tonasa. Pabriknya selalu ada di dekat kawasan karst.

Di sisi lain, sama seperti kebanyakan sumber daya alam tidak terbarukan, karst tercipta dari proses geologi berjuta tahun. Dalam proses itu, di kawasan di mana karst terkumpul, tercipta juga gua-gua, dari tetesan air selama ribuan-jutaan tahun itu terbentuk tiang kapur yang disebut stalaktit dan stalagmit, juga berbagai ornamen.

Gua-gua dan lorong-lorong di pengunungan karst juga menjadi kawasan penyimpan air, mengalir sebagai sungai-sungai di bawah tanah, yang pada satu titik muncul sebagai sumber air.

“Tempat wisata Biduk-biduk di Berau itu contohnya. Juga kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat di Kutai Timur,” kata Niel dalam kesempatan terpisah.

Baca Juga: Riwayat Perjalanan dari Balikpapan, Dirut RSUD Kudungga Kutim Positif Covid

Bila kawasan karst rusak atau dirusak, maka biasanya mata air yang ada di sekitarnya kering atau mengecil debitnya. Begitu juga dengan sungai-sungainya.

Selama 2 jam lebih diskusi membahas berbagai hal mengenai apa dan bagaimana ekowisata, sebuah singkatan dari dua kata, ekologi-pariwisata. Yaitu perjalanan-kunjungan ke tempat di mana lingkungan dipelihara dan dimuliakan sehingga lingkungan itu dapat memberikan jasanya yang maksimal, berupa pemandangan yang menawan, suasana yang nyaman, atau juga petualangan yang mengasyikkan.

Kepala Dinas Pariwisata Kalimantan Timur Sri Wahyuni pun membeberkan banyak rencana Pemprov Kaltim untuk pariwisata yang ekologis itu.

“Wisata alam di Kalimantan Timur ini luar biasa. Tinggal kita mengemas dan mempromosikannya,” kata Wahyuni.

Teladan Mangrove Center

Di Balikpapan, sejak bertahun-tahun lampau, ada Agus Bei yang menanami lingkungan berlumpur di dekat rumahnya dengan pohon-pohon bakau Rhizopora mucronata.

“Saat itu saya hanya ingin melindungi rumah-rumah kami di Graha Indah ini dari angin kencang dari laut,” tutur Agus mengenang kejadian tahun 1997 itu.

Sampai akhir tahun 2015, Agus bersama warga Graha Indah sudah menanam 20.000 lebih pohon bakau atau mangrove di areal seluas 40 hektare.

Kemudian satwa mulai berdatangan. Burung-burung yang lama tak terlihat, muncul di atas pucuk-pucuk mangrove. Dalam waktu-waktu tertentu, bekantan (Nasalis larvatus) kini berani mendekat sampai ke deretan mangrove di depan rumah Agus.

Monyet yang jantannya berhidung seperti terong namun berwarna merah dan berperut buncit itu juga terlihat makin banyak. Pemancing juga suka memancing di dekat bakau karena banyak ikannya.

Paduan satwa dan keteduhan hutan, serta petualangan kecil berperahu berkeliling kanal-kanal bakau, tiba-tiba saja menjadi menarik untuk wisata di tengah hiruk pikuk industri Balikpapan.

"Setiap akhir pekan, apalagi long weekend orang ramai berkunjung," kata Agus.

Dalam sebulan tidak kurang ada 200 trip perahu untuk berkeliling melihat hutan bakau. Satu trip rata-rata terdiri dari lima orang.

Tempat di ujung Perumahan Graha Indah itu pun jadi terkenal. Pengunjung pun berfoto ceria di atas perahu klotok dengan latar hijau hutan bakau dan menayangkannya di media sosial.

Pengunjung juga dengan sukarela menyumbang. "Donasi untuk mangrove," kata Kate Elise, relawan dari Australia yang juga membeli cendera mata berupa topi rimba dan kaus Mangrove Center.

Seiring dengan isu penyelamatan lingkungan yang makin kuat di tengah kerusakan alam dan alih fungsi lahan yang makin masif, apa yang dilakukan Agus dengan menanam mangrove itu tiba-tiba menjadi contoh penting.

"Bahwa masih ada harapan kalau kita mau berbuat. 'Angus' memberi contoh apa yang bisa kita lakukan," kata Alexander Dereims, seorang pewarta dari Paris, Prancis.

Alex kesusahan melafalkan nama Agus dan selalu menyebutnya 'Angus'.

Namun, Alex dengan senang hati menghabiskan waktu sehari penuh bersama Agus dan krunya, turut masuk lumpur menanam bakau pada pagi hari dan merekam aksi bekantan berloncatan dari pohon ke pohon di sore hari.

Agus menjamu Alex makan siang berupa ikan bakar yang diolah tetangganya yang jago masak.

Agus pun jadi terbiasa melayani wawancara dan menemani media yang datang untuk meliput. Mereka dari Balikpapan, Jakarta, sampai dari Paris, Prancis, seperti Alex.

Walau tidak resmi, Mangrove Center juga menjadi kawasan konservasi. Balai Karantina Ikan Balikpapan sesekali melepaskan ratusan kepiting yang tidak lolos karantina ke hutan bakau.

Mangrove Center juga memproduksi bibit mangrove, terutama pohon bakau atau Rhizopora mucronata dan Rhizopora apiculata.

Menurut Agus, dalam sebulan sekurangnya ada pesanan 1.000 bibit. Pembibitan dikerjakan masyarakat yang bergabung dalam kelompok bernama Sonneratia, nama latin pohon parepat, satu jenis mangrove juga.

Di satu pojok Sungai Somber, Kelompok Sonneratia juga punya keramba jaring apung untuk mengembangkan ikan kerapu. Hasilnya juga untuk meningkatkan kesejahteraan anggota.

Gang di depan rumah Agus dirapikan. Di ujung jalan dibuat dermaga dan jalan titian dari kayu ulin. Dengan standar keselamatan yang jadi kebiasaan warga Kota Minyak, jalan titian dibuatkan pagar dan setiap pengunjung wajib mengenakan jaket pelampung sebelum naik ke perahu.

"Saya dibantu kawan-kawan dari perusahaan migas. Ada dari Pertamina, dulu ada dari Total Indonesie, Chevron. Sekarang Pertamina semua ya,” kata Agus. Chevron Indonesia Company kini menjadi Pertamina Hulu Kalimantan Timur.

Kawan-kawan perusahaan migas ini, kata Agus lagi, membantu membuatkan pagar dermaga, menyumbang pelampung.

“Ada juga kawan-kawan dari perbankan bantu perahu buat keliling dan patroli mangrove," kata Agus mengingat-ingat.

Semasa Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) masih dipimpin Balthazar Kambuaya, di Mangrove Center dibuatkan menara pengawas, pos pengamatan, dan dihibahi perahu patroli. Menteri Balthazar Kambuaya datang langsung dan meresmikan pos pengamatan yang dibangun dari kayu ulin yang kokoh di samping dermaga.

Tahun 2016. Pemkot Balikpapan menjadikan Mangrove Center sebagai satu tujuan wisata favorit hutan bakau di Kota Minyak itu. Bahkan, Agus Bei dianugerahi Hadiah Kalpataru oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam kategori Penyelamat Lingkungan.

“Semoga apa yang saya lakukan ini bisa jadi pendorong, contoh, dan inspirasi bagi yang lain,” ucap Agus seraya berharap apa yang dilakukan juga bisa berkembang menjadi objek wisata seperti cerita karst di China.

Load More