Scroll untuk membaca artikel
Sapri Maulana
Rabu, 17 Maret 2021 | 16:03 WIB
Area pembangunan Markas Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Makogamwilhan) II dan Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) Kodam IV Mulawarman di Ambarawang Darat, Samboja, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. [Suara.com/Jifran]

SuaraKaltim.id - Nasib mujur warga  Desa Sumurgeneng, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Mendadak menjadi miliarder usai mendapat pembebasan lahan untuk kilang minyak grass root refinery, dengan uang kompensasi mulai dari Rp 8 hingga 26 miliar. Hingga akhirnya Desa Sumurgeneng disebut Kampung Miliarder. Hal itu sangat berbeda jauh dengan nasib warga Ambarawang Darat, Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Hal itu dialami warga dalam proses Pembangunan Markas Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Makogamwilhan) II Mabes TNI dan Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) Kodam VI Mulawarman di Ambarawang Darat, Samboja, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur.

Markas dibangun di atas lahan sekitar 50 hektar. Ditarget mulai ditempati tahun 2022.

Namun dalam proses pembebasan lahan belum menemukan titik temu. Sebagian warga yang terdampak pembangunan, belum melepas lahannya karena tanah per meter hanya dihargai Rp 15.000. Tawaran tersebut dianggap tak sesuai.

Baca Juga: Akhirnya, Ada Kesepakatan Ganti Rugi Lahan Bandara Sukadana

"Saat ini warga masih tinggal dirumah masing-masing,"kata Winda Kurniawati mewakili kedua orang tuanya, salah satu warga terdampak dikonfirmasi, Minggu (14/03/2021) lalu.

Disebutkan ada 18 KK (kepala keluarga)  yang masih mempertahankan lahannya. Sebagian lainya sudah melepas.

Rumah orangtua Winda menjadi salah satu prioritas mendapat ganti rugi, sebab lokasinya berada di lokasi yang direncanakan sebagai pintu masuk menuju Makogamwilhan.

Khusus untuk orangtua Winda, Tim Satgas TNI sudah menyediakan rumah pengganti di atas lahan seluas 600 meter persegi sebagai tukar guling.

"Tawaran itu kita terima," kata Winda.

Baca Juga: Masih Pemula Belajar Mengemudi, 15 Mobil Warga Kampung Miliarder Rusak

Hanya, dirinya meminta agar sisa lahan dari setengah hektar yang dimiliki orantuanya juga diganti. Sebab akan dijadikan tempat usaha.

“Lahan rumah yang diganti itu luas 600 meter persegi. Sementara kami punya lahan setengah hektare dengan bukti surat segel. Sisanya kami ingin diganti," ungkap Winda.

Selain rumah, TNI sudah mengganti kandang ayam milik orangtua Winda senilai Rp 100 juta. Saat ini Winda bersama orangtuanya dan TNI masih bernegosiasi perihal pergantian sisa tanah seluas setengah hectare itu.

Masih menurut penuturan Winda, TNI menawarkan opsi ganti uang sisa lahan itu dengan harga Rp 15.000 per meter namun ditolak. Winda dan orangtuanya menginginkan diganti lahan untuk melanjutkan usaha ayam.

Opsi tukar guling lahan dan bangunan warga oleh TNI sudah disepakati sejak diadakan pertemuan bersama di kantor Kelurahan Samboja pekan lalu.

Pada umumnya masyarakat tidak menolak pembangunan. Mereka hanya meminta ganti rugi yang layak.

Warga lain yang menolak melepas lahan dengan harga Rp 15.000 juga menawarkan opsi tukar guling.

“Kalau bisa diganti lahan dan bangunan kami sesuai dengan yang sekarang,” tutur Alkadafi.

Luas lahan yang dikuasai Alkadafi dua hektar dengan bukti surat segel dari kelurahan. Di atas lahan itu, ada tiga bangunan yang ditempati empat kepala keluarga (KK), anggota keluarga Alkadafi.

Alkadafi berharap TNI mengganti sesuai ukuran lahan dan bangunan. Selain bangunan, Alkadafi juga punya kebun sebagai sumber penghasilan, dengan seluruh isinya seperti sukun, buah-buahan dan lain-lain.

“Kami ingin tetap dihitung (ganti rugi) tanam tumbuh, seperti sukun, buah dan lain-lain,” katanya.

Perihal besaran dana Rp 15.000, Komandan Satuan Tugas (Dansatgas) pembangunan Makogabwilham II Kol Inf Helmi Tachejadi Soerjono mengatakan sudah di atas nilai jual objek pajak (NJOP) yang hanya berkisar Rp 6.000 untuk wilayah itu. 

Meski demikian, Helmi memastikan saat ini pihaknya terus koordinasi dengan masyarakat untuk pergantian lahan dan bangunan.

“Kami tetap mediasi dengan masyarakat, kita diskusi. Tapi tentu ada orang yang tidak suka sama kami, mereka bilang kami intimidasi, padahal tidak. Dan ini bisa dibuktikan pada masyarakat yang sudah serahkan lahan kepada kami,” kata dia. 

Helmi mengatakan pihaknya tak mungkin mengabaikan hak masyarakat.

“Kita sudah ada hal-hal yang positif bagi masyarakat. Masyarakat sudah mengerti, bahwa lahan ini adalah lahan untuk latihan militer,” kata dia. 

Helmi menegaskan surat segel yang dipegang masyarakat hanya hak garap, bukan kepemilikan. Menurutnya, lahan yang diakui warga ialah lahan milik negara.

“Jadi bahasanya bukan ganti rugi ya. Tapi kami beri dana kerohiman dengan batas yang sudah ditentukan. Bukan ganti rugi. Kita beri masukan ke masyarakat biar mengerti. Kami enggak bakal bohongi masyarakat. Bagaimana pun TNI adalah unsur terdepan bagi masyarakat,” terang dia.

“Kalau untuk dana kerohiman Rp 10.000 sampai Rp 15.000 itu kami tidak membeli. Tapi kami menggantikan sesuai klasifikasi surat (tanah). Rata warga punya segel, bukan sertifikat,” tutur Helmi.

Kontributor : Jifran

Load More