SuaraKaltim.id - Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang anjlok dalam dua bulan terakhir hingga menyentuh Rp 600 per kilogram (kg) di Kaltim merugikan petani.
Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Kaltim Ujang Rachmad mengatakan, petani rugi karena harga saat ini tak mencukupi untuk biaya produksi. Mulai dari panen, pengangkutan dan lainnya.
“Harga Rp 800 TBS per kg tidk bisa menutupi biaya produksi, rugi,” ujarnya, melansir dari Inibalikpapan.com--Jaringan Suara.com, Jumat (1/7/2022).
Ia mengaku khawatir, jika harga tidak kembali normal seperti sebelumnya, yang sempat menyentuh Rp 3,3 juta per ton akan sangat berdampak pada pendapatan petani. Ia pun ikut pusing.
“Jika harga tidak kembali normal, kalau 2 bulan harga enggak berubah bisa hancur? Iya itu yang jadi kekhawatriran, saya terus terang puyeng,” katanya.
Menurutnya, saat ini nilai tukar petani (NTP) Kaltim yang menjadi indikator kesejahteraan petani juga turun menjadi 152. Sebelumnya, 186 saat harga sawit masih normal.
“Pada saat harga 3,3 juta per ton NTP Kaltim itu 186, NTP indikator kesejahteraan petani bulan lalu sudah 152. Tiap bulan kan dikeluarkan,” ucapnya.
Katanya, pembangunan perkebunan berkelanjutan dilihat dari sisi ekonomi. Maka untuk kesejahteraan petani atau masyarakat dilihat dari harga komoditas yang tercapai atau normal.
“Kalau harga rendah, ya artinya kalau tujuan kita untuk mensejahterahkan masyarakat melalui harga komoditas yang baik itu kan enggak tercapai. Itu yang menjadi kegalauan saya saat ini,” jelasnya.
Ia menjelaskan, harga komoditas perkebunan selama ini selalu bergantung pada pasar. Sehingga, ketika ada intervensi akan mengganggu ekosistem dan terjadi gangguan keseimbangan.
Seperti diketahui, sejak pemerintah melarang ekspor crude palm oil (CPO), kemudian harga sawit anjlok. Sehingga, kemudian untuk kembali normal seperti sebelumnya, butuh proses yang lama.
“Itu terus terang ada banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, dari dulu harga komoditas perkebunan itu selalu bebas dipengaruhi pasar,” tuturnya.
“Begitu ada intervensi, gangguan ekosisterm, gangguan keseimbangannya itu makin parah dan akibatnya pada proses recovery nya agak lama,” imbuhnya.
Ia menyebut, meski larangan ekspor telah dicabut tak serta merta mengembalikan harga sawit. Karena di pasar dunia internasional haerga sawit juga bergelak naik turun.
“Itu sebabnya setelah larangan ekspor dicabut kembali harganya gak makin baik, disamping ada kebijakkan ditingkat lokal Pemerintah Indonesdia, teryata di dunia internasional sawit itu terus bergejolak harganya terus turun naik,” tandasnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 10 Sunscreen untuk Flek Hitam Terlaris di Shopee yang Bisa Kamu Coba
- Lebih Murah dari Innova Zenix: 5 Mobil 7 Seater Kabin Lega Cocok untuk Liburan Keluarga Akhir Tahun
- Penyerang Klub Belanda Siap Susul Miliano Bela Timnas Indonesia: Ibu Senang Tiap Pulang ke Depok
- 27 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 26 Oktober: Raih 18.500 Gems dan Pemain 111-113
- 7 Mobil 8 Seater Termurah untuk Keluarga, MPV hingga SUV Super Nyaman
Pilihan
-
4 HP Memori 256 GB Paling Murah, Cocok untuk Gamer yang Ingin Install Banyak Game
-
Disebut Menteri Berbahaya, Menkeu Purbaya Langsung Skakmat Hasan Nasbi
-
Hasan Nasbi Sebut Menkeu Purbaya Berbahaya, Bisa Lemahkan Pemerintah
-
5 Fakta Kemenangan 2-1 Real Madrid Atas Barcelona: 16 Gol Kylian Mbappe
-
Harga Emas Hari Ini: Galeri 24 dan UBS Sentuh Rp 2,4 Juta di Pegadaian, Antam Nihil!
Terkini
-
Suara dari Jalanan: Aktivis 98 Sebut Perpres Ojol Jawaban Aspirasi Pengemudi
-
CEK FAKTA: Benarkah Nadiem Makarim Ditahan Polisi Militer? Ini Penjelasan Lengkapnya
-
CEK FAKTA: Klaim Indonesia Kirim 20 Ribu Pasukan ke Gaza
-
CEK FAKTA: Benarkah Inggris, Prancis, dan Spanyol Bombardir Israel?
-
CEK FAKTA: Klaim Pembukaan Seleksi PPPK Guru Kemenag Tahap 3 Tahun 2025 Adalah Hoaks