SuaraKaltim.id - Disahkannya Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI memunculkan kekhawatiran serius di tengah masyarakat.
Dominasi militer di ruang sipil dianggap berpotensi melemahkan supremasi sipil dan mengganggu keseimbangan demokrasi.
TNI yang semestinya bertugas dalam urusan pertahanan negara kini dikhawatirkan akan merambah ranah pengambilan keputusan sipil dan politik.
Kondisi ini memunculkan keraguan terhadap netralitas militer, yang bisa berdampak negatif pada kualitas demokrasi, termasuk terhadap kebebasan pers.
Posisi jurnalis sebagai pilar keempat demokrasi juga menjadi rentan, mengingat peran mereka dalam menyuarakan kepentingan publik, mengawasi kekuasaan, dan menyampaikan kebijakan kepada masyarakat.
Dalam konteks ini, jurnalis perempuan menghadapi tantangan yang semakin berat.
Bentuk kekerasan terhadap mereka semakin kompleks, mulai dari intimidasi, pelecehan seksual, serangan digital, hingga pembunuhan berbasis gender atau femisida.
Pelaku kekerasan terhadap jurnalis perempuan berasal dari berbagai latar belakang, termasuk aparat negara, pejabat publik, bahkan sesama jurnalis.
Beberapa waktu setelah revisi UU TNI disahkan pada masa pemerintahan Presiden Prabowo, sudah muncul sejumlah kasus yang menyeret jurnalis perempuan sebagai korban.
Baca Juga: Bulan Inklusi Keuangan 2024: PNM Hadirkan Akses Modal untuk Perempuan Prasejahtera di Wilayah 3T
Antara lain menimpa jurnalis Juwita di Banjarmasin dan Francisca.
Budaya kekerasan dan dominasi yang dilegitimasi oleh militerisme dinilai menjadi ancaman serius bagi profesi jurnalis, terutama bagi perempuan.
Melihat perkembangan ini, Perempuan Mahardhika Samarinda melalui Komite Basis Jurnalis menggelar diskusi publik bertajuk “Menguatnya Dominasi Militer dan Ancaman Bagi Jurnalis Perempuan” di Aula Kantor PWI Kaltim, Jalan Biola, pada Sabtu , 26 April 2025.
Diskusi tersebut menghadirkan dua narasumber utama, yakni Titah dari Komite Basis Jurnalis dan Noviyatul dari AJI Samarinda.
Data hasil survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan PR2Media pada 2022 mencerminkan tingginya angka kekerasan seksual yang dialami jurnalis perempuan di Indonesia.
Dari 852 responden di 34 provinsi, tercatat 82,6 persen atau sekitar 704 jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan seksual, baik secara daring maupun luring.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Pecah Bisu Setelah Satu Dekade, Ayu Ting Ting Bongkar Hubungannya dengan Enji Baskoro
- Profil dan Rekam Jejak Alimin Ribut Sujono, Pernah Vonis Mati Sambo dan Kini Gagal Jadi Hakim Agung
- Core Indonesia Sebut Kebijakan Menkeu Purbaya Suntik Rp200 Triliun Dinilai Salah Diagnosis
- Ditunjuk Prabowo Reformasi Polri: Sosok Ahmad Dofiri Jenderal Rp7 Miliar Berani Pecat Ferdy Sambo!
- Sosok Kompol Anggraini, Polwan Diduga Jadi 'Badai' di Karier Irjen Krishna Murti, Siapa Dia?
Pilihan
-
3 Catatan Menarik Liverpool Tumbangkan Everton: Start Sempurna The Reds
-
Dari Baper Sampai Teriak Bareng: 10+ Tontonan Netflix Buat Quality Time Makin Lengket
-
Menkeu Purbaya Janji Lindungi Industri Rokok Lokal, Mau Evaluasi Cukai Hingga Berantas Rokok China
-
Usai Dicopot dari Kepala PCO, Danantara Tunjuk Hasan Nasbi jadi Komisaris Pertamina
-
4 Rekomendasi HP Murah Rp 2 Jutaan Baterai Besar Minimal 6000 mAh, Terbaik September 2025
Terkini
-
Dr. Dave dan James Kawal Sengketa Tanah Kariangau: Harus Objektif dan Transparan
-
Dishub Permanenkan Jalur Satu Arah di Jalan Abul Hasan Samarinda
-
BGN Akui Mahakam Ulu Masih Jadi 'Blank Spot' MBG di Kaltim
-
Pemerintah Pusat Suntik Rp 100 Miliar untuk Perkuat Infrastruktur Sekitar IKN
-
Lahan 5.298 Meter Persegi Jadi Sengketa, Masa Depan RSHD Samarinda Tak Jelas