SuaraKaltim.id - Deforestasi yang semakin meluas di Kalimantan Timur (Kaltim) tak hanya mengancam kelestarian lingkungan, tapi juga menyorot lemahnya kontribusi perusahaan dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya.
Laporan terbaru dari Auriga Nusantara mencatat bahwa sepanjang tahun 2024, provinsi ini menjadi wilayah dengan kehilangan hutan paling parah di Indonesia, dengan luasan mencapai 44.483 hektare.
Salah satu daerah penyumbang terbesar adalah Kabupaten Berau, yang berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, telah memiliki area perkebunan sawit seluas 21.860,91 hektare.
Besarnya ekspansi lahan sawit ini diyakini ikut mempercepat laju konversi hutan di Kaltim.
Deforestasi, yang umumnya dipicu pembukaan lahan untuk kepentingan industri dan infrastruktur, membawa dampak luas: dari kerusakan ekosistem dan hilangnya keanekaragaman hayati, hingga meningkatnya risiko bencana alam serta tekanan sosial terhadap masyarakat sekitar.
Namun, yang jadi perhatian penting adalah bagaimana sektor industri—terutama perkebunan—merespons kerusakan tersebut.
Pengamat Ekonomi Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo, menilai bahwa kontribusi sektor swasta melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) belum menunjukkan tanggung jawab yang sepadan.
"CSR jangan sampai dimanfaatkan oknum untuk mengais keuntungan tertentu untuk mengambil uang perusahaan tersebut, demi masuk kantong orang-orang tertentu, juga jangan jadi hanya sebatas alat peredam agar tidak ada gejolak di masyarakat atas hal-hal yg abai dari pihak perusahan," tegas Purwadi, disadur dari kaltimtoday.co--Jaringan Suara.com, Selasa 13 Mei 2025.
Ia juga menyoroti ketidakjelasan realisasi program plasma kebun sawit yang seharusnya memberikan 20 persen manfaat langsung kepada masyarakat lokal.
Baca Juga: IKG Kaltim Naik Tipis, Tapi Perempuan Kian Aktif di Pasar Kerja
"Terutama dari sektor perkebunan sawit, program kewajiban 20 persen plasma untuk rakyat juga patut dipertanyakan apakah sudah berjalan dengan baik di lapangan?" katanya.
Purwadi mengungkapkan bahwa di banyak kasus, CSR justru dijadikan alat untuk melancarkan izin operasional perusahaan, bukan untuk menanggulangi dampak dari kegiatan bisnis mereka.
Ia menyebutkan, ketidakterbukaan informasi menjadi sumber utama ketidakpercayaan publik.
"Operasi dulu baru izin, kebanyakan seperti itu jadi siapa yang tidak paham aturan disini?, yang memberi atau yang minta izin?, atau dua-duanya 'kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu?'” sindirnya.
Menurutnya, perlu ada transparansi dan keterlibatan lebih besar dari masyarakat, pemerintah, hingga DPRD dalam pengawasan distribusi CSR.
Ia juga mempertanyakan fungsi Forum CSR di daerah yang seharusnya menjadi saluran keterbukaan.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas Sekelas Honda Jazz untuk Mahasiswa yang Lebih Murah
- 7 Rekomendasi Body Lotion dengan SPF 50 untuk Usia 40 Tahun ke Atas
- 26 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 13 November: Klaim Ribuan Gems dan FootyVerse 111-113
- 5 Pilihan Bedak Padat Wardah untuk Samarkan Garis Halus Usia 40-an, Harga Terjangkau
- 5 Rekomendasi Sepatu Lokal Senyaman New Balance untuk Jalan Kaki Jauh
Pilihan
-
Bobibos Ramai Dibicarakan! Pakar: Wajib Lolos Uji Kelayakan Sebelum Dijual Massal
-
Video Brutal Latja SPN Polda NTT Bocor, Dua Siswa Dipukuli Senior Bikin Publik Murka
-
Rolas Sitinjak: Kriminalisasi Busuk dalam Kasus Tambang Ilegal PT Position, Polisi Pun Jadi Korban
-
Menkeu Purbaya Ungkap Ada K/L yang Balikin Duit Rp3,5 T Gara-Gara Tak Sanggup Belanja!
-
Vinfast Serius Garap Pasar Indonesia, Ini Strategi di Tengah Gempuran Mobil China
Terkini
-
Belanja Pegawai Ditekan, Kutim Upayakan TPP ASN Tidak Terpangkas
-
Jaga Identitas di IKN, DPRD PPU Siapkan Payung Hukum untuk Adat Paser
-
Dugaan Kriminalisasi Aktivis Lingkungan di Kaltim: MT Ditahan 100 Hari Tanpa Bukti Baru
-
Kutim Terjebak Warisan Lubang Tambang? Bupati ke KPC: Harusnya Jadi Sumber Penghidupan
-
Dekat IKN, 9.800 Keluarga di PPU Belum Punya Rumah