Scroll untuk membaca artikel
Denada S Putri
Selasa, 13 Mei 2025 | 15:35 WIB
Ilustrasi perkebunan sawit di Kaltim. [Ist]

Purwadi mengungkapkan bahwa di banyak kasus, CSR justru dijadikan alat untuk melancarkan izin operasional perusahaan, bukan untuk menanggulangi dampak dari kegiatan bisnis mereka.

Ia menyebutkan, ketidakterbukaan informasi menjadi sumber utama ketidakpercayaan publik.

"Operasi dulu baru izin, kebanyakan seperti itu jadi siapa yang tidak paham aturan disini?, yang memberi atau yang minta izin?, atau dua-duanya 'kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu?'” sindirnya.

Menurutnya, perlu ada transparansi dan keterlibatan lebih besar dari masyarakat, pemerintah, hingga DPRD dalam pengawasan distribusi CSR.

Baca Juga: IKG Kaltim Naik Tipis, Tapi Perempuan Kian Aktif di Pasar Kerja

Ia juga mempertanyakan fungsi Forum CSR di daerah yang seharusnya menjadi saluran keterbukaan.

"Perusahaan kadang hanya melihat terhadap dalih ring 1, 2 dan sebagainya, akhirnya penyerapannya hanya di wilayah-wilayah tertentu dan tidak merata. Harusnya ada evaluasi terhadap penyaluran CSR selama ini, jadi perlu ada aksi nyata pasca bencana yang melanda wilayah Kaltim belakangan ini," tandasnya.

Di tengah darurat lingkungan akibat deforestasi, suara publik terhadap tanggung jawab sektor swasta semakin keras.

Bukan hanya soal pemulihan ekologis, namun juga soal keadilan sosial dan keberlanjutan hidup masyarakat di sekitar wilayah terdampak.

Sosok Purwadi Purwoharsojo. [Ist]

Mengenal Sosok Purwadi Purwoharsojo

Baca Juga: Pasang Laut Ancam Pesisir Kaltim 1316 Mei, BMKG Imbau Masyarakat Siaga

Purwadi Purwoharsojo adalah seorang akademisi dan pengamat ekonomi yang aktif di Universitas Mulawarman (Unmul), Samarinda, Kaltim.

Load More