Scroll untuk membaca artikel
Denada S Putri
Minggu, 08 Juni 2025 | 17:35 WIB
Ilustrasi kerang darah. [Ist]

SuaraKaltim.id - PT Pertamina Hulu Indonesia (PHI) menyatakan keprihatinannya atas kejadian gagal panen kerang darah yang terjadi di Kecamatan Muara Badak, khususnya di Desa Tanjung Limau, selama musim hujan kali ini.

Perusahaan memahami dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat, terutama para petani kerang darah yang menggantungkan hidup dari hasil panen tersebut.

Sebagai bentuk kepedulian dan komitmen sosial, perusahaan bersama Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) melalui Dinas Sosial (Dinsos) telah menyalurkan bantuan kepada petani yang terdampak sejak Maret 2025 lalu.

Hal itu disampaikan Dony Indrawan, Manager Communication Relations & CID PT Pertamina Hulu Indonesia. dalam keterangan resminya, yang diterima melalui aplikasi pesan instan, Minggu, 8 Juni 2025.

Baca Juga: Jam Bentong Hidup Lagi Lewat Sentuhan Teknologi dan Konsep Digital

“Perusahaan memahami kesulitan yang dihadapi masyarakat, dan sebagai anggota masyarakat yang baik, kami turut memberikan dukungan nyata melalui kerja sama dengan pemerintah daerah,” ujar Dony.

Sementara itu, hingga kini PHI masih menanti hasil investigasi yang dilakukan oleh Tim Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Mei 2025 lalu.

Perusahaan menyatakan belum dapat memberikan tanggapan resmi sebelum keputusan dari pihak kementerian diterbitkan.

Perusahaan juga menegaskan bahwa seluruh kegiatan operasional hulu migas yang dijalankan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Perusahaan senantiasa bekerja sama dengan pemerintah dalam proses ini dan akan menghormati keputusan KLH sebagai wujud komitmen untuk terus meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan,” tegas Dony.

Baca Juga: Spanduk Penolakan Bermunculan, Izin Gereja Toraja Disoal Warga

PT Pertamina Hulu Indonesia menyampaikan bahwa pihaknya tetap berkomitmen menjaga praktik operasi yang berkelanjutan dan bertanggung jawab, termasuk dalam mendukung keberlanjutan mata pencaharian masyarakat di sekitar wilayah operasionalnya.

Hasil Panen Hilang, Hidup Terguncang: Derita 299 Nelayan

Setelah melalui penyelidikan panjang, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq akhirnya menyatakan bahwa PT Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS) terbukti mencemari kawasan pesisir Muara Badak, Kalimantan Timur (Kaltim).

Investigasi yang dilakukan oleh tim dari Direktorat Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) telah rampung.

"Iya, sudah ada hasil dari tim PPKL [Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan]," kata Hanif, Kamis, 5 Juni 2025, dikutip Sabtu, 7 Juni 2025, KlikKaltim.com--Jaringan Suara.com.

Walau laporan final dari tim penegakan hukum (Gakkum) belum dirilis sepenuhnya, Hanif menegaskan keterlibatan PHSS dalam insiden pencemaran yang menghantam keras sektor budidaya kerang darah di wilayah tersebut.

"Intinya PHSS terbukti menjadi salah satu sumber pencemar. Nanti segera diberikan sanksi oleh Gakkum," tegasnya.

Dampak Nyata: Nelayan Kehilangan Mata Pencaharian

Masalah ini mencuat ketika nelayan melaporkan kematian massal kerang darah di tambak mereka sejak awal tahun.

Budidaya kerang yang selama ini menjadi sumber ekonomi utama masyarakat Muara Badak, kini lumpuh total.

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman, yang melakukan uji laboratorium pada 23–25 Januari 2025, menemukan adanya kontaminasi bahan organik dan sirkulasi air yang buruk di 15 titik strategis, termasuk kolam limbah dan limpasan pengeboran PHSS.

Meski begitu, pihak perusahaan membantah tudingan tersebut.

"Tidak ada bukti yang mengaitkan langsung kegiatan pengeboran PHSS dengan kasus gagal panen kerang darah," ujar Dony Indrawan, Manager Communication Relations & CID Pertamina Hulu Indonesia, dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 2 April 2025.

PHSS juga menyatakan telah mengikuti prosedur AMDAL dan izin lingkungan yang berlaku, serta mengeklaim bahwa pengawasan dari KLH pada Maret lalu tak menemukan pelanggaran.

Namun kondisi di lapangan berkata lain. Sebanyak 299 kepala keluarga nelayan di enam desa pesisir kehilangan sumber pendapatan.

Diperkirakan, mereka mengalami kerugian hingga Rp 69 miliar dari hasil panen yang gagal mencapai sekitar 3.800 ton kerang.

“Satu nelayan itu minimal punya keramba seluas 1 hektare, bahkan ada yang punya 15-20 hektare,” jelas Yusuf, perwakilan nelayan.

Lebih memilukan, benih kerang yang ditebar kembali pada Februari 2025 tidak bertahan lama.

Seluruhnya mati dalam waktu seminggu.

“Saat ini kami belum berani menabur benih lagi, sebab kondisi keuangan tidak memungkinkan untuk membeli,” ujar Yusuf.

Kondisi ekonomi nelayan disebut semakin terpuruk. Sebagian dari mereka kini menggantungkan hidup dari pekerjaan serabutan atau bahkan terjerat utang demi menyambung hidup.

Load More