SuaraKaltim.id - Kebudayaan kerap dianggap sebatas tarian, musik, atau pakaian adat.
Namun di balik itu, budaya menyimpan potensi strategis yang mampu menjadi fondasi pembangunan sosial, pelestarian lingkungan, hingga kebangkitan ekonomi kreatif berbasis lokal.
Hal inilah yang coba digaungkan dalam gelaran Helo East Festival 2025 di Kalimantan Timur (Kaltim).
Festival dua hari ini bukan sekadar ajang pertunjukan seni, tapi menjadi ruang interaksi antar komunitas dari berbagai latar—mulai dari pelestari budaya, pegiat lingkungan, hingga insan kreatif muda.
Mereka berkumpul membawa semangat baru: bahwa budaya dan alam adalah satu napas, saling menghidupi.
Menurut Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XIV Kaltim-Kaltara, Thea Lestari, inisiatif seperti Helo East Festival mendorong lahirnya kesadaran baru tentang budaya.
“Selama ini kita mengenal budaya hanya sebatas kesenian atau tarian. Padahal mencintai lingkungan adalah bagian sangat erat dari kebudayaan,” ujarnya, Jumat, 18 Juli 2025.
Thea menggarisbawahi bahwa dalam UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, terdapat sepuluh objek utama (OPK), dua di antaranya langsung terkait kelestarian lingkungan: pengetahuan dan teknologi tradisional.
“Kalau kita bicara 10 OPK, di situ ada pengetahuan dan teknologi tradisional. Ini sangat terkait dengan bagaimana masyarakat menjaga dan hidup berdampingan dengan alam,” katanya.
Baca Juga: Pemprov Kaltim Bidik Jalan Perkebunan Jadi Akses Pesisir Strategis
Data BPK mencatat, Kaltim sudah mendaftarkan 54 warisan budaya tak benda secara nasional, termasuk Museum Mulawarman dan Lamin Pemancung sebagai cagar budaya tingkat nasional.
Ada pula kekayaan budaya seperti tari jepen, musik sapek, tradisi belian bawo, hingga kuliner khas seperti petis dan sop tekalon.
Namun kekayaan ini, kata Thea, tak akan hidup jika hanya disimpan. Ia mendorong generasi muda untuk menjadi penggerak.
“Saya mintanya anak muda nih. Mari kita gali warisan nenek moyang, kembangkan dan manfaatkan untuk kepentingan bangsa ini,” ajaknya.
Thea memberi contoh potensi pengobatan lokal seperti kayu bajakah yang perlu digarap ilmiah, atau kuliner tradisional yang bisa naik kelas lewat sentuhan kreatif.
“Contohnya Sop Tekalo dari Paser, itu lebih segar dari soto. Nah, ini bisa diekstraksi bumbunya, dikembangkan plating-nya, dan dijadikan produk ekspor,” ujarnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Lagi Jadi Omongan, Berapa Penghasilan Edi Sound Si Penemu Sound Horeg?
- Tanpa Naturalisasi! Pemain Rp 2,1 Miliar Ini Siap Gantikan Posisi Ole Romeny di Ronde 4
- 5 Pemain Timnas Indonesia yang Bakal Tampil di Kasta Tertinggi Eropa Musim 2025/2026
- Brandon Scheunemann Jadi Pemain Paling Unik di Timnas Indonesia U-23, Masa Depan Timnas Senior
- Siapa Sebenarnya 'Thomas Alva Edi Sound Horeg', Begadang Seminggu Demi Bass Menggelegar
Pilihan
-
Media Vietnam Akui Nguyen Cong Phuong Cs Pakai Tekel Keras dan Cara Licik
-
Satu Kata Erick Thohir Usai Timnas Indonesia U-23 Gagal Juara Piala AFF
-
Pengobat Luka! Koreografi Keren La Grande di Final Piala AFF U-23 2025
-
8 HP Murah RAM Besar dan Chipset Gahar, Rp1 Jutaan dapat RAM 8 GB
-
5 Rekomendasi Mobil Bekas 50 Jutaan: Murah Berkualitas, Harga Tinggi Jika Dijual Kembali
Terkini
-
Dukung IKN dari Hulu: PPU Luncurkan Beras Lokal Benuo Taka
-
Sekolah Rakyat Segera Hadir di Kutim, Sasar Anak dari Keluarga Miskin
-
Kapal Rumah Sakit 50 Meter Siap Sambangi Pelosok Kaltim, Ini Tawaran dari Korea Selatan
-
Proyek IKN Jadi Sorotan DPR RI, Bandara VVIP hingga Jalan Inti Masuki Fase Penting
-
DLH Balikpapan: Bakar Sampah Bisa Kena Denda Rp50 Juta atau Kurungan 6 Bulan!