Denada S Putri
Kamis, 31 Juli 2025 | 22:51 WIB
Ilustrasi Karhutla (chateGPT)

SuaraKaltim.id - Lonjakan jumlah titik panas di Kalimantan Timur (Kaltim) dalam beberapa hari terakhir menjadi sinyal serius bagi potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Balikpapan mencatat, dalam dua hari terakhir, lebih dari 140 hotspot terpantau setiap harinya.

Pada Selasa, 29 Juli 2025, terdeteksi 157 titik panas yang tersebar di enam kabupaten.

Sehari setelahnya, angka itu sedikit menurun menjadi 140 titik, namun mencakup wilayah yang lebih luas—tersebar di sembilan kabupaten/kota.

Hal itu disampaikan Kepala Stasiun Meteorologi SAMA Sepinggan BMKG Balikpapan, Kukuh Ribudiyanto, di Balikpapan, Rabu, 30 Juli 2025.

“Dalam hal ini, tugas dan fungsi kami menginformasikan tentang titik panas baik tingkat kepercayaan sedang maupun tinggi. Dari informasi ini, selanjutnya menjadi tugas instansi terkait untuk melakukan pengecekan hingga penanganan di lokasi,” jelas Kukuh, disadur dari ANTARA, Kamis, 31 Juli 2025.

Ia menambahkan, BMKG selalu menyampaikan klasifikasi titik panas berdasarkan tingkat kepercayaan.

Skala kepercayaan ini berkisar dari angka 7 (sedang) hingga 8 (tinggi), lengkap dengan titik koordinat yang memudahkan penelusuran lokasi.

Menurut Kukuh, informasi tersebut sangat penting sebagai rujukan awal bagi instansi teknis seperti BPBD, Dinas Kehutanan provinsi maupun kabupaten/kota dalam menentukan apakah titik panas tersebut sudah berkembang menjadi karhutla atau belum.

Baca Juga: BMKG: Pasang Laut 2,9 Meter Berpotensi Ganggu Aktivitas Pesisir Balikpapan

Ketika ditemukan hotspot dengan tingkat kepercayaan tinggi, biasanya instansi terkait langsung melakukan pengecekan ke lokasi sambil membawa peralatan penanggulangan awal.

Sebaran titik panas pada Rabu kemarin menunjukkan bahwa Kabupaten Berau menjadi wilayah dengan jumlah hotspot terbanyak, yakni 60 titik di tujuh kecamatan: Biatan (1), Gunung Tabur (6), Kelay (10), Pulau Derawan (16), Sambaliung (6), Segah (16), dan Tabalar (4).

Kabupaten Paser juga menjadi salah satu wilayah yang patut diwaspadai, dengan total 16 titik panas yang terpantau di tiga kecamatan: Batu Sopang (13), Muara Samu (2), dan Muara Komam (1).

Selain itu, titik panas juga muncul di Kota Balikpapan (1), Penajam Paser Utara (1), Kutai Timur (40), Kutai Kartanegara (21), dan Mahakam Ulu (1).

Dengan kondisi cuaca yang cenderung kering, BMKG mendorong seluruh pihak, mulai dari aparat pemerintah daerah hingga masyarakat, untuk lebih waspada terhadap potensi penyebaran api di lahan gambut maupun hutan terbuka.

BMKG Ingatkan Kaltim: Kemarau Basah Bisa Picu Karhutla dan Krisis Air

Musim kemarau yang kini melanda Kalimantan Timur (Kaltim) tak bisa dipandang enteng, meski curah hujan belum benar-benar nol.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperingatkan bahwa risiko kebakaran hutan dan lahan (karhutla), kelangkaan air bersih, serta gangguan kesehatan tetap harus diwaspadai.

Hal itu disampaikan Kepala BMKG Stasiun Meteorologi Kelas I SAMS Sepinggan Balikpapan, Kukuh Ribudiyanto, Rabu, 30 Juli 2025.

“Meski kemarau di Kalimantan Timur masih tergolong normal, risiko-risiko yang muncul tetap harus diwaspadai, terutama karhutla, kekurangan air bersih, dan paparan debu serta radiasi matahari,” kata Kukuh, disadur dari ANTARA, di hari yang sama.

BMKG mencatat, wilayah Kaltim telah memasuki musim kemarau sejak awal Juli.

Puncak kekeringan diperkirakan terjadi pada bulan Agustus, ditandai dengan penurunan curah hujan yang mulai signifikan sejak pertengahan Juli.

"Sejak pertengahan Juli, penurunan curah hujan tercatat mulai signifikan," ujarnya.

Fenomena ini oleh BMKG diklasifikasikan sebagai kemarau basah, yakni musim kering yang masih disertai hujan ringan secara sporadis.

Menurut Kukuh, istilah ini penting dipahami masyarakat karena kerap menimbulkan salah persepsi seolah-olah belum masuk musim kemarau.

“Periode itu sering disalahpahami karena masih ada hujan. Meski curah hujan belum nol, penurunan tetap terjadi dan berdampak nyata,” ujarnya.

BMKG mencatat rata-rata curah hujan selama Agustus hingga September di kisaran 100 milimeter per bulan, yang sudah masuk kategori kemarau berdasarkan ambang batas 150 milimeter.

Selain curah hujan yang menurun, Kukuh menjelaskan, keberadaan siklon tropis di utara Papua dan sekitar Filipina juga turut mempengaruhi distribusi uap air ke Kaltim.

Hal ini memperkuat tren pengeringan, terutama di kawasan pesisir dan dataran rendah.

“Gangguan itu ikut menurunkan curah hujan secara bertahap, terutama di kawasan pesisir dan dataran rendah,” ujarnya.

Kondisi geografis Kaltim yang dipenuhi hutan dan lahan terbuka membuat wilayah ini sangat rentan terhadap karhutla.

Karena itu, BMKG mengimbau masyarakat tidak melakukan pembakaran dalam bentuk apa pun.

“Kami minta semua pihak, terutama masyarakat di daerah rawan, untuk tidak melakukan aktivitas pembakaran sekecil apa pun. Sekali api muncul, sangat sulit dikendalikan pada musim kering seperti ini,” katanya.

Selain potensi karhutla, Kukuh juga menyoroti krisis air minum dan peningkatan risiko gangguan pernapasan akibat akumulasi debu.

Anak-anak, lansia, dan kelompok rentan menjadi yang paling terdampak.

BMKG juga mendorong pemerintah daerah untuk memperkuat pemantauan air bersih dan meningkatkan koordinasi lintas sektor dalam menghadapi kemarau.

“Kondisi musim kemarau bukan untuk diremehkan, tapi justru harus direspons serius dengan langkah-langkah mitigasi konkret, baik oleh masyarakat maupun pemerintah,” kata Kukuh Ribudiyanto.

Sebagai bentuk kesiapsiagaan, BMKG berkomitmen memberikan informasi prakiraan cuaca secara berkala kepada pemerintah daerah dan instansi terkait, guna mendukung pengurangan risiko bencana selama musim kemarau berlangsung.

Load More