Denada S Putri
Selasa, 30 September 2025 | 21:59 WIB
Anak-anak korban keracunan MBG sedang dirawat di posko darurat Cipongkor, Jawa Barat pada 26 September 2025. Lebih dari 6400 anak telah jadi korban keracunan MBG di Indonesia. [Antara]
Baca 10 detik
  • Penguatan Mutu MBG: Ombudsman RI mendorong Badan Gizi Nasional (BGN) memperketat pengendalian mutu bahan program MBG, termasuk sistem daftar periksa dan uji mutu sampel, serta sertifikasi BPOM bagi semua supplier SPPG.

  • Peran UMKM dan Kepatuhan Supplier: UMKM perlu dibina agar memenuhi standar BPOM, sementara pemasok yang berulang kali melanggar spesifikasi harus langsung diblacklist.

  • Masalah dan Risiko Program MBG: Terdapat delapan permasalahan utama, termasuk kasus keracunan dan pengawasan yang belum terintegrasi, serta empat potensi malaadministrasi, seperti penundaan, diskriminasi, ketidakkompetenan, dan penyimpangan prosedur pengadaan.

SuaraKaltim.id - Ombudsman RI (ORI) menekankan perlunya Badan Gizi Nasional (BGN) memperkuat pengendalian mutu bahan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG), seiring sejumlah kasus keracunan yang belakangan ini terjadi.

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menyoroti pentingnya sistem daftar periksa untuk memeriksa semua bahan yang masuk ke setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), lengkap dengan kewajiban uji mutu sampel pada setiap pengiriman.

Hal itu disampaikan Yeka dalam Konferensi Pers Penyampaian Hasil Kajian Cepat Pencegahan Malaadministrasi dalam Penyelenggaraan Program MBG di Jakarta, Selasa, 30 September 2025.

"Dalam hal ini, sertifikasi BPOM diperlukan bagi setiap mitra supplier SPPG," ujarnya, disadur dari ANTARA, di hari yang sama.

Ia menambahkan, selama ini SPPG cenderung hanya menerima bahan dari satu supplier utama bersertifikat, sementara pemasok lini kedua, yang sebagian besar UMKM, belum tersertifikasi BPOM.

Untuk mengatasi hal ini, Yeka menyarankan agar UMKM mendapat pendampingan agar dapat memenuhi standar BPOM sehingga bisa langsung berperan dalam penyediaan bahan baku SPPG.

Selain itu, Ombudsman merekomendasikan penetapan ambang toleransi deviasi kualitas, misalnya maksimal 5 persen, dan mekanisme evaluasi kepatuhan pemasok.

"Pemasok yang secara berulang melanggar spesifikasi harus diberikan sanksi tegas berupa pencantuman dalam daftar hitam (blacklist) secara otomatis," tegas Yeka.

Dari kajian Ombudsman, terdapat delapan masalah utama dalam pelaksanaan MBG, termasuk kesenjangan antara target dan capaian, maraknya kasus keracunan massal, penetapan mitra yayasan yang rawan konflik kepentingan, keterbatasan dan pemetaan SDM, ketidaksesuaian mutu bahan baku, standar pengelolaan makanan yang belum konsisten, distribusi makanan yang belum tertib, dan sistem pengawasan yang belum terintegrasi.

Baca Juga: Prabowo Pastikan Standar Baru MBG, Semua Dapur Wajib Punya Koki Terlatih

"Kedelapan permasalahan tersebut menimbulkan risiko turunnya kepercayaan publik, bahkan telah memicu kekecewaan dan kemarahan masyarakat," kata Yeka.

Berdasarkan temuan itu, Ombudsman juga mengidentifikasi empat potensi malaadministrasi dalam penyelenggaraan MBG, yakni penundaan berlarut, diskriminasi, ketidakkompetenan, serta penyimpangan prosedur dalam pengadaan bahan.

Load More