SuaraKaltim.id - Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia merilis catatan Omnibus Law, Cacat Prosedur dan Berimplikasi Buruk Terhadap Tata Kelola Sumber Daya Alam (SDA).
Koalisi PWYP Indonesia menilai, tata kelola SDA di Indonesia akan bernasib buruk dengan hadirnya sejumlah pasal dalam UU Cipta Kerja.
Terutama ketentuan yang mereduksi kewenangan pemerintah daerah, serta menghilangkan tanggungjawabnya dalam hal pembinaan dan pengawasan aktivitas pertambangan di masing-masing wilayahnya.
Dimana, penarikan kewenangan perizinan dari daerah ke pusat ini bertentangan dengan semangat otonomi daerah yang selama ini dikembangkan, dan berpotensi menggiring Indonesia menuju negara yang sentralistik.
Baca Juga:UPDATE 13/10/2020 ; Pasien Covid-19 di Kaltim Bertambah 108 Kasus
Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Aryanto Nugroho menyebut, salah satu sektor yang berimplikasi buruk adalah pertambangan minerba.
Pasalnya, UU Omnibus Law hanya memberikan stempel terhadap pengesahaan UU No.3 Tahun 2020 (UU Minerba) yang secara prosedur dan substansinya tidak kalah bermasalah dan juga mengundang kritikan dan penolakan dari publik.
“Otomatis UU Omnibus Law mengamini seluruh perubahan yang terdapat dalam UU Minerba saat ini dan hanya menyisipkan 1 (satu) pasal yaitu pasal 128 A tentang pemberian intensif kepada pengusaha tambang dan mengubah 1 (satu) pasal lainnya, yaitu pasal 162 tentang pengaturan pidana terhadap pihak yang mengganggu kegiatan usaha pertambangan,” jelasnya.
Dia melanjutkan, pasal 128 A yang disisipkan dalam UU Cipta Kerja merupakan suatu pemberian insentif berlebihan yakni berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen) bagi pengusaha batubara yang melakukan kegiatan peningkatan nilai tambang. Dimana pengaturannya akan diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) .
“Pengenaaan royalti sebesar 0% (nol persen) ini diperhitungkan akan berdampak pada penurunan drastis Dana Bagi Hasil (DBH) Minerba ke daerah,” tegasnya.
Baca Juga:Pengecer Solar Ilegal di Balikpapan Ditangkap Polda Kaltim
Selain itu, pasal 162 dalam UU Cipta Kerja merupakan pasal yang dapat meningkatkan potensi terjadinya kriminalisasi terhadap masyarakat sekitar tambang maupun pegiat lingkungan.
“Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan konflik-konflik baru antara masyarakat yang tidak setuju dengan adanya aktivitas pertambangan di suatu wilayah yang dianggap merugikan meski sudah mendapatkan izin,” sebutnya.
Di sisi lain, UU Omnibus Law ini juga diduga mengistimewakan para pemegang Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan (KK/PKP2B) yang masa kontraknya akan habis.
Pasal itu akan mendukung hilangnya pasal pidana yang dapat menjerat pejabat negara dalam menerbitkan izin pertambangan minerba bermasalah, memberikan insentif berlebihan bagi eksploitasi SDA tanpa memperhatikan aspek kepentingan ekologis dan perlindungan lingkungan hidup, serta pengembangan energi terbarukan dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
“Hadirnya sejumlah pasal dalam UU Cipta Kerja terutama ketentuan yang mereduksi kewenangan pemerintah daerah, serta menghilangkan tanggungjawabnya dalam hal pembinaan dan pengawasan aktivitas pertambangan di masing-masing wilayahnya, adalah implikasi yang memperburuk tata kelola SDA,” jelasnya.
Dikonfirmasi, Wakil Gubernur Kaltim, Hadi Mulyadi menyebut Kaltim sudah lebih dulu dirugikan dalam konteks tata kelola batubara. Menurut dia, DBH batu bara di Kaltim juga tidak sampai triliunan.
“DBH batubara setahu saya tidak sampai triliunan. Sebelum atau sesudah UU Cipta Kerja disahkan, Kaltim sudah dirugikan dalam konteks tata kelola batubara,” kata dia, Rabu 914/10/2020).
Dijelaskan dia, kerugian yang diderita Provinsi Kaltim pada tata kelola batu bara dikarenakan banyak faktor. Akumulasi DBH yang diterima Kaltim saat ini hanya berjumlah Rp 1,8 triliun. Angka itu, akumulasi dari semua pendapatan yang ada.
“Banyak faktor yang membuat rugi. DBH kita tahun 2021 sekitar Rp 1,8 triliun. Ada dari pajak dan bukan pajak. Yang bukan pajak dari berbagai sumber, salah satunya DBH batu bara,” jelasnya.
Meski demikian, Hadi tidak menyebut apakah UU Omnibus Law tidak berpengaruh pada DBH di Kaltim. Menurutnya, tolak ukur itu belum bisa dipastikan.
“Tidak bisa disimpulkan tidak berpengaruh. Karena PP dari UU ini kan belum ada, jadi belum bisa disimpulkan. Bukan tidak berpengaruh,” pungkasnya.