SuaraKaltim.id - Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) tengah mengusulkan Calon Pahlawan Nasional (CPN) dari Kaltim.
Adalah Haji Abdoel Moeis Hassan atau yang kerap disapa Moeis Kecil. Tokoh pejuang bersuku Banjar, kelahiran Samarinda, 2 Juni 1924.
Dia merupakan merupakan Gubernur Kaltim ke-2, sekaligus tokoh pemuda pergerakan kebangsaan di Samarinda pada masa 1940–1945.
Moeis Kecil juga pemimpin perjuangan diplomasi politik untuk kemerdekaan Republik Indonesia di wilayah Kaltim pada masa 1945–1949.
Baca Juga:Ziarah Makam Pahlawan di TMPU Kalibata
Meski ikut berjuang mempertahankan Kaltim, namun Namanya tak banyak dikenal orang. Masyarakat Kaltim lebih akrab dengan Inche Abdul Moeis atau IA Moeis yang kemudian Namanya dipakai RSUD Pemerintah Samarinda.
Antara Moeis Kecil dan IA Moeis adalah orang yang berbeda. Walau sebenarnya, keduanya hidup di zaman yang sama. Bedanya, IA Moeis lebih dikenal sebagai Moeis Tinggi.
Sejarawan Kaltim, Muhammad Sarip menjelaskan kontribusi Moeis untuk Indonesia sangat banyak. Tidak diragukan, lantaran Moeis adalah tokoh muda yang berani menentang Belanda.
“Abdoel Moeis Hassan adalah pelopor integrasi wilayah Keresidenan Kalimantan Timur ke dalam NKRI pada tahun 1950,” kata Sarip di Samarinda (10/11/2020).
Dalam catatan Sarip, Moeis adalah sosok pejuang muda yang memiliki semangat kemerdekaan. Pada usia 16 tahun, Moeis sudah mendirikan sekaligus mengetuai Roekoen Pemoeda Indonesia (Roepindo) sebagai organisasi kepemudaan di Samarinda.
Baca Juga:Buatan Indonesia, Ini Rekomendasi 7 Game Android Bertema Pahlawan
“Organisasi ini menghimpun dan membangkitkan semangat kaum muda serta menanamkan kesadaran berbangsa, berbahasa, dan bertanah air Indonesia,” imbuhnya.
Sebagai tokoh, Moeis juga mendirikan Balai Pengajaran dan Pendidikan Rakyat di Samarinda bersama A.M. Sangadji di tahun 1942.
Dia kemudian bergabung dalam Panitia Persiapan Penyambutan Kemerdekaan Republik Indonesia (P3KRI) untuk mewujudkan Proklamasi Negara Indonesia di Samarinda pada tahun 1945.
Di tahun 1946, Moeis terang-terangan menolak Belanda di Kaltim. Dia lantas mendirikan Ikatan Nasional Indonesia (INI) Cabang Samarinda yang bertujuan menentang pendudukan Belanda di Samarinda.
Hingga tahun 1947, Moeis kemudian menjadi Ketua INI Cabang Samarinda dan Ketua Front Nasional sebagai koalisi organisasi Kaltim pembela RI (Republiken) dan menentang pemerintahan federasi bentukan Belanda.
Skala perjuangan Moeis Hassan dalam koalisi organisasi tersebut mempunyai jangkauan luas dan berdampak secara nasional.
“Hasilnya, Kesultanan Kutai pada awal 1950 menyatakan bersedia bergabung dalam NKRI. Kemudian, Pemerintah Federasi Kaltim menyetujui tuntutannya untuk keluar dari Negara Federal Republik Indonesia Serikat (RIS) dan berintegrasi ke NKRI,” jelasnya.
Perjalanan Moeis tidak sampai di situ, pada tahun 1948 tanggal 26–29 Maret, dia mengikuti Kongres Gabungan Pemuda Indonesia Seluruh Kalimantan (Gappika) di Barabai, Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel).
Sekira Bulan April di tahun yang sama, dia menggagas pendirian Tugu Kebangunan Nasional di halaman Gedung Nasional. Hingga akhirnya, dia juga meresmikan Tugu Kebangsaan Nasional di tanggal 22 Agustus 1948.
Tahun 1960 Abdoel Moeis Hassan menjadi Ketua Komisi Gabungan di DPR RI yang bertugas menyelesaikan RUU Pokok Pemerintahan Daerah dan RUU Pokok Agraria.
“Terbitnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria merupakan peristiwa monumental dalam sejarah nasional. Hal ini karena UU tersebut menjadi pemicu penghapusan peraturan pertanahan warisan pemerintah kolonial Belanda,” kata Sarip.
Menurutnya, masa 1962–1965 Abdoel Moeis Hassan berperan strategis dalam menjaga keseimbangan situasi politik daerah akibat seruan Dwikora dan anti-nekolim.
Di tahun inilah, tepatnya tanggal 30 Juni, Moeis ditetapkan oleh Presiden Sukarno sebagai Gubernur Kalimantan Timur berdasarkan hasil pemilihan di DPRD Kaltim dan rekomendasi Penguasa Perang Daerah Kaltim,” imbuhnya.
Dia kemudian dilantik pada tanggal 10 Agustus 1962 oleh Menteri Dalam Negeri sebagai gubernur. “Dia juga menggagas berdirinya perguruan tinggi pertama di Kaltim yakni Universitas Kalimantan Timur yang kemudian menjadi Universitas Mulawarman,” jelasnya.
Tepat pada tanggal 21 November tahun 2005, Abdoel Moeis Hasan wafat dan dimakamkan di Jakarta, kala itu dia berusia 81 tahun.
Meski melewati catatan Panjang sebagai pejuang kemerdekaan, nama Abdoel Moeis Hassan belum mendapat gelar pahlawan nasional. Menurut Sarip, hal itu memang tidak singkat dan instan.
Sementara itu, Kepala Seksi Kepahlawanan Dinas Sosial Provinsi kalimantan Timur , Abdul Khair menyebut pihaknya masih berupaya agar usulan itu diterima.
"Tetap berupaya diusulkan. Mudah-mudahan kami diberikan anggaran untuk terus berkonsultasi ke Kementerian Sosial," pungkasnya.