Semrawut Data Covid-19 Pusat dan Daerah

Jika disandingkan, maka data pemerintah pusat terlambat hampir tiga minggu, dari laporan rekapitulasi data pemerintah daerah.

Denada S Putri
Kamis, 29 Juli 2021 | 07:49 WIB
Semrawut Data Covid-19 Pusat dan Daerah
KEGIATAN EVAKUASI BPBD KOTA SAMARINDA PENJEMPUTAN JENAZAH PASIEN ISOMAN. [Instagram/@bpbdkotasamarinda]

Keterlambatan dan Ketiadaan Pelaporan Kasus

Juru bicara Vaksinasi Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi tak menampik adanya perbedaan data yang ditampilkan pusat dan daerah.

Kata dia, pemerintah daerah menggunakan dua sistem pelaporan data terkait Covid-19. Pertama, secara manual, kedua melalui sistem yang ia sebut "national all report".

Persoalannya, kata Nadia, sebagian pemerintah daerah hanya melakukan pencatatan melalui situs masing-masing tanpa melaporkan ke Kementerian Kesehatan. Misalnya, ketika terdapat suspek Covid-19 meninggal dunia, tapi hasil laboratorium baru keluar beberapa hari kemudian. Tapi ini tidak dilaporkan ke pusat.

Baca Juga:Kaltim Sumbang 2.129 Kasus Terkonfirmasi Covid-19, Samarinda Posisi Pertama

"Tapi kalau kemudian tidak ditindaklanjuti, tidak dilaporkan, tapi mereka melaporkan di website-nya mereka masing-masing, ini yang menjadi kendala kenapa terjadi perbedaan data tersebut," kata Nadia.

Selain itu, Kemenkes hanya melaporkan jumlah kematian yang sudah pasti karena Covid-19 yang hasilnya sudah melalui laboratorium. Sementara, mereka yang menjadi suspek dengan gejala Covid-19 hanya masuk pendataan.

"Kita kan tidak mau ada anggapan bahwa kita meng-covid-kan orang. Kita buat begitu juga, masyarakat sudah bilang kita meng-covid-kan orang. Jadi kasus kematian kita adalah benar-benar kasus kematian yang betul-betul confirm positif Covid," kata Nadia.

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan HK.01.07/MENKES/413/2020, definisi kematian Covid-19 untuk kepentingan surveilans adalah kasus konfirmasi/probable Covid-19 yang meninggal. Kasus probable adalah mereka yang mengalami ISPA berat, gangguan pernapasan akut dengan gambaran klinis yang meyakinkan terinfeksi virus corona dan belum ada hasil laboratorium RT-PCR.

Namun, definisi kematian probable ini hanya digunakan pemerintah untuk pencatatan, bukan bagian dari pelaporan kasus kematian Covid-19.

Baca Juga:Mohon Sabar Pengumunan Peserta Beasiswa Kaltim Tuntas Masih Tertunda

"Dicatat, kita catat, tapi disepakati adalah kasus yang konfirm yang dimasukkan. Biar datanya lebih valid saja, bahwa ini kasus yang ada hasil laboratoriumnya," kata Nadia.

Penurunan Tren Kasus Bukan Indikasi Aman

Satgas Covid-19 mencatat penurunan tren kasus Covid-19 pasca pemberlakuan PPKM darurat pada 3-25 Juli 2021. Belakangan, pemerintah mengubah nomenklatur PPKM darurat menjadi PPKM level 4, 3, 2, dan 1 untuk kebijakan yang diberlakukan per 26 Juli-2 Agustus 2021.

Semakin rendah levelnya, maka semakin longgar kebijakan di suatu wilayah. Misalnya, untuk Level 3, pusat perbelanjaan atau mal bisa dikunjungi dengan ketentuan 25% kapasitas yang tersedia.

Bagaimanapun, Kepala Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Nuning Nuraini mengatakan tren kasus ini tak bisa dijadikan patokan untuk memprediksi situasi di lapangan. Pasalnya, angka kematian tetap tinggi.

"Tapi di setiap angka kematian, naik semua. Jadi itu yang berbahaya, jadi yang dites kurang, positivity rate naik, angka kematian naik. Jadi, kasus turun ini tak bisa dijadikan indikasi bahwa aman," kata Nuning kepada BBC News Indonesia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini