SuaraKaltim.id - Selama pandemi kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat drastis. Bahkan beberapa kasus hingga berujung perceraian. Hal itu terjadi di Kaltim.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Data Kekerasan Kaltim DKP3A per 1 Agustus 2021, tercatat ada 203 kasus. Paling banyak ditemukan di Samarinda sebanyak 99 kasus.
Disusul Bontang dengan 39 kasus, Balikpapan 28 kasus, Paser 17 kasus, Berau dan Kutai Barat (Kubar) masing-masing 7 kasus, Kutai Timur (Kutim) 3 kasus, Penajam Paser Utara (PPU) 2 kasus, Kutai Kartanegara (Kukar) 1 kasus, dan Mahakam Ulu (Mahulu) 0 kasus. Sedangkan total jumlah korban mencapai 215 orang.
Menyadur dari kaltimtoday.co--Jaringan Suara.com, Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim mengungkapkan, mereka banyak menerima laporan terkait kekerasan terhadap perempuan selama dua tahun terakhir.
Baca Juga:Peras Perusahaan Kelapa Sawit di Paser, 5 Tersangka Ini Diamankan Jajaran Polda Kaltim
Kasi Perlindungan Perempuan DKP3A Kaltim, Fachmi Rozano mengatakan, selama Covid-19 ada di Bumi Mulawarman pihaknya terus berupaya untuk memudahkan masyarakat dalam hal melaporkan kasus-kasus kekerasan. Sehingga, ada beberapa masyarakat yang langsung ke kantor dan menyampaikan masalah yang dialami.
“Ada juga beberapa yang menelepon. Tapi kalau memang diperlukan untuk hadir, maka ditangani Tim Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak secara langsung. Kami kasih penjelasan dan pengarahan apa yang harus dilakukan,” katanya, dikutip Kamis (2/9/2021).
Pelapor yang datang kebanyakan dari kalangan perempuan. Masalah yang tergolong berat dan biasanya dilaporkan adalah seputar kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Sedangkan masalah lainnya seperti perebutan hak asuh anak dan perceraian. Khusus 2 masalah tersebut, ditegaskan olehnya, pihaknya hanya bisa memberikan saran dan masukan saja.
“Masalahnya itu beragam dan macam-macam. Selama pandemi jauh lebih banyak. Pergerakannya cukup signifikan antara sebelum pandemi dan sesudah. Di tengah pandemi, paling banyak memang kasus perceraian,” lanjutnya.
Baca Juga:Sedih, Anggaran Beasiswa Kaltim Cemerlang Turun 50 Persen
Biasanya, para pelapor diminta untuk mengisi formulir dan kronologis masalah. Kemudian, tim satgas akan melihat kebutuhan dari si pelapor.
Namun, ia mengaku penanganan psikis lebih banyak ditemukan. Sehingga melibatkan peran psikolog. Waktu yang dibutuhkan juga tak sebentar. Mereka yang masalah psikisnya ditangani, harus konsultasi dengan psikolog untuk beberapa kali.
“Kami kan juga punya UPTD. Untuk sementara penanganan di sini dulu. Tapi nanti kami lihat dulu, apakah masalahnya perlu dirujuk. Tergantung TKP kasusnya di mana,” tambahnya.
Ia melanjutkan yang terpenting yakni, Tim Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak akan mengkaji terlebih dahulu apa yang sebenarnya menjadi keperluan dan kebutuhan si pelapor.
Misalnya, perlu pendampingan psikologis, maka akan dipertemukan dengan psikolog. Begitu pula jika membutuhkan pendampingan hukum, maka akan melibatkan lembaga bantuan hukum (LBH) yang sudah menjalin kerja sama dengan DKP3A Kaltim.
Lebih lanjut lagi, jika yang datang justru melaporkan kasus kekerasan, maka pihak satgas akan bertanya untuk memastikan apakah kasus tersebut benar-benar ingin diajukan. Kemudian pelapor akan diberikan surat pernyataan. Sebab, banyak juga kejadian yang pada akhirnya laporan tersebut ditarik oleh pelapor karena berbagai macam alasan.
“Kami menyebarkan informasi mengenai hal tersebut. Kami sosialisasikan ke masyarakat. Kalau masyarakat datang ke kantor, nanti ada diarahkan,” tandasnya.