SuaraKaltim.id - Persoalan tambang ilegal di Kalimantan Timur (Kaltim) terus menjadi sorotan cendekiawan asal Universitas Mulawarman (Unmul). Sebagai upaya membuka tabir, berbagai dalih dan fakta disajikan. Pun demikian, posisi aparat penegak hukum yang kini dipertanyakan perihal keberpihakannya.
Sabtu, 11 Desember 2021 siang, Lembaga Dakwah Al-Mizan Fakultas Hukum Unmul menghelat Kajian Seputar Isu dan Regulasi (KASASI), bertemakan "Problematika Penegakan Hukum Terhadap Tambang Ilegal yang Kian Menjamur" secara hybird.
Acara menghadirkan Wali Kota Samarinda, Andi Harun, sebagai salah satu narasumber gelaran diskusi. Serta turut diikuti oleh Dekan Fakultas Hukum (FH) Unmul, Mahendra Putra Kurnia, Akademisi FH Unmul, Haris Retno, dan Staf LD Al-Mizan FH Unmul, Rahmad Tullah, selaku moderator.
Berdasarkan paparan dalam diskusi, dari data yang dikeluarkan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim tercatat 163 titik tambang ilegal ada di Benua Etam. Sementara 20 titik di antaranya berada di Kota Tepian, sebutan Kota Samarinda.
Baca Juga:Wali Kota Samarinda: Tambang Ilegal Sengsarakan Rakyat
Diketahui pula, penggunaan lahan berdasarkan izin yang telah dikeluarkan melalui Perda 1/2016 tentang RTRW Kaltim disebutkan sekitar 5,9 juta hektar digunakan untuk pertambangan dari 12 juta hektar total luas daratan Kaltim. Terbagi antara izin IUP seluas 4,1 juta hektare dan izin PKP2B 1,8 juta hektare. Hal tersebut disinyalir menyebabkan kerusakan lingkungan, memicu konflik sosial, dan intimidasi kepada masyarakat yang memperjuangkan lingkungan hidup.
Wali Kota Andi Harun menyampaikan, sorotan tajam terhadap aktivitas pertambangan ilegal juga dilakukan Pemerintah Pusat berdasarkan hasil rapat Komisi III DPR RI bersama Kapolri pada tanggal 17 Juni 2021 lalu.
Pun pembahasan sebelumnya telah bergulir dengan bertemuanya Komisi IV DPR RI dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH-K) RI, mencatat sekitar 8,7 juta hektare pertambangan ilegal di seluruh Indonesia. Sementara khusus di Kaltim, tambang ilegal diperkirakan mencapai 774.519 hektare.
Ia menyebut, polemik tambang ilegal yang kadung menjamur ini membuat pemerintah pusat mengaku kewalahan dalam mengatasinya.
Secara umum, dijelaskannya, pusat perhatian atas persoalan tambang ilegal saat ini ialah perihal payung hukum. Payung hukum berawal pada Undang-Undang Nomor 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara. Dalam aturan ini, kewenangan perizinan pertambangan masih dimiliki pemerintah kabupaten/kota. Namun UU tersebut direvisi menjadi UU Nomor 3/2020. Sehingga kewenangan perizinan ditarik ke pemerintah pusat. Kendati dalam pasal 35 ayat (4) menyebutkan, pemerintah provinsi masih memiliki tugas dalam pengawasan pertambangan.
Baca Juga:163 Tambang Batu Bara Beroperasi Secara Ilegal di Kalimantan Timur
Ia menyatakan, tidak ada unsur kewenangan pemerintah kota/kabupaten sama sekali dalam pasal tersebut. Aparat penegak hukum pun kesulitan dalam pengambilan payung hukum untuk menindak tambang ilegal.
"Apakah bisa instrument KUHP atau UU Lingkungan Hidup atas pencemaran lingkungan? Ini tidak semudah yang dibayangkan dalam konstruksi hukumnya. Posisi hukum UU Lingkungan Hidup bersifat Lex Generalis. Sedangkan, UU Minerba saat ini Lex Spesialis. Ini yang menjadi PR,” ungkapnya, melansir dari Presisi.co--Jaringan Suara.com, Senin (13/12/2021).
Menurutnya, ada beberapa hal yang menjadi temuannya atas polemik tambang ilegal ini. Pertama, yakni adanya pertambangan yang tidak memiliki IUP secara jelas. Kedua, pertambangan yang memiliki IUP, namun melakukan pertambangan tidak sesuai aturan. Ketiga, pertambangan tak memiliki IUP, namun diizinkan menambang oleh pemegang izin konsesi. Dan keempat, penambang ilegal mampu merayu rakyat untuk diizinkan melakukan penambangan.
Pernyataan awal mantan Wakil Ketua DPRD Kaltim itu kemudian disanggah oleh Haris Retno. Ia menyatakan, diskusi yang dimaksud adalah pertambangan ilegal. Ditegaskannya bahwa ketentuan hukum UU Minerba sudah jelas, perihal penindakan tambang ilegal oleh aparat penegak hukum, dan upaya perlindungan pemerintah daerah atas masyarakatnya.
"Memang benar, dengan UU Cipta Kerja 11/2020, kewenangan pemerintah di daerah ditarik ke pusat. Tapi tidak bisa menjadi dalih untuk pemerintah daerah untuk tidak melindungi masyarakatnya," sanggahnya.
Dia melanjutkan, adapun posisi aparat penegak hukum yang saat ini terkesan lambat dalam melakukan penanganan dan masih harus menunggu laporan dari masyarakat. Alih-alih langsung menindak tambang ilegal, sebut Retno, aparat penegak hukum justru menangani persoalan lain yang sulit ditelusuri.
"Ada maling dan pencuri di depan penegakak hukum, namun penanganan justru mengarah ke teroris yang tidak kelihatan dan dikejar-kejar. Ini jadi menimbulkan pertanyaan ada apa?," ulasnya.
Sebagai contoh, dia membeberkan, kasus warga Muang Dalam di Kelurahan Lempake, Samarinda Utara, beberapa waktu lalu yang menolak tambang diduga ilegal, mendapatkan intimidasi oleh oknum yang diduga preman.
Dia menilai, hal tersebut sudah jelas-jelas menunjukan adanya indikasi aktivitas pertambangan ilegal. Namun ditengah penolakan masyarakat rupanya ditemui upaya mediasi dari pihak penambang kepada masyarakat terkait penuntasan perkara tersebut.
"Aparat hukum harus menindak tegas, tidak bisa berdamai dengan perampok dan pencuri kekayaaan alam kita. Nah, pemerintah daerah juga perlu hadir di tengah masyarakatnya yang memperjuangkan itu," tegasnya.
Dia menambahkan, adapun dampak lain dari maraknya persoalan tambang ilegal di Kaltim, adalah pengaruhnya terhadap jalan umum di beberapa wilayah, khususnya di Kota Samarinda. Pasalnya, mobilitas truk batu bara turut mengurangi subsidi solar bagi masyarakat.
"Mirisnya lagi, mayoritas batu bara ilegal itu berasal dari luar Kalimantan. Artinya apa? Pajaknya pun tidak ada di kita, dan solar akhirnya juga berkurang," paparnya.
Minta Pemda Diberikan Kewenangan
Kembali menanggapi, Wali Kota Andi Harun menyatakan bahwa saat ini terdapat modus kejahatan modern atas kasus pertambangan ilegal. Misalnya, adanya aktivitas pertambangan lain di dalam satu konsesi baik berupa IUP maupun PKP2B.
"Biasanya, yang seperti itu mendapatkan resistensi dari masyarakat di sekitar lokasi tambang. Jadi ada pihak lain yang melakukan pendekatan kepada tokoh, untuk kemudian bisa beroperasi," jelasnya.
"Yang bisa diterapkan secara langsung demi mengatasi tambang ilegal itu, kalau aparat penegak hukumnya serius dan tidak kong kalikong," tambahnya.
Akan hal tersebut, ia meminta para dosen Unmul juga melakukan penelitian sekaligus investigasi, lalu kemudian melaporkan jika ada ditemukan dugaan kuat keterlibatan aparat penegak hukum dari aktivitas pertambangan ilegal di Kaltim, khususnya Kota Samarinda.
"Sebenarnya, andaikan boleh jujur, pemerintah daerah ingin diberikan kewenangan kembali perihal pertambangan. Paling tidak kewenangan untuk menindak (tambang ilegal). Kalau saya dapat sepucuk surat dari Menteri, tidak menunggu hari, bulan, atau detik. Akan saya lakukan," pungkasnya.