SuaraKaltim.id - Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) kini ramai digaungkan oleh publik. Tujuannya tak lain mendesak DPR RI untuk segera mengesahkan undang-undang tersebut.
Kasus kekerasan seksual di Tanah Air sendiri ibarat fenomena gunung es. Banyak korban yang tak berani berbicara atas kasus yang menimpa mereka karena merasa malu, atau bahkan takut dengan stigma publik kepada mereka.
Di kedewanan Indonesia sendiri, baru 4 fraksi yang menyetujui RUU TPKS dibawa ke rapat paripurna dan menjadi hak inisiatif DPR. Ke-4 fraksi itu ialah PKB, PDIP, Gerindra dan Nasdem. Sedang, 5 fraksi lainnya PAN, PPP, PKS, Golkar dan Demokrat masih menolak.
Untuk di Kaltim, Samarinda berada di posisi teratas mengenai kasus tersebut. Berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak (DP3A), mereka menggolongkan jenis kasus itu menjadi 2 golongan. Yakni, yang terjadi pada anak dan orang dewasa.
Baca Juga:Yakin RUU TPKS Pasti Beres di Masa Persidangan Selanjutnya, Cak Imin: Sabar Ya Bro
Kekerasan seksual yang terjadi pada anak laki-laki sebanyak 5 kasus. Lalu pada anak perempuan sebanyak 14 kasus. Total keseluruhan kekerasan seksual yang terjadi pada anak laki-laki dan perempuan ada 19 kasus.
Kemudian, kasus kekerasan seksual yang terjadi pada orang dewasa laki-laki ada 0 kasus. Begitu juga pada orang dewasa perempuan.
Beberapa kasus yang tercatat di DP3A Samarinda itu, ditangani oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
Psikolog Asal Samarinda, Ayunda Rahmadani mengatakan, ketika korban pelecehan seksual mengalami trauma, biasanya akan dilakukan screening terlebih dahulu. Screening itu bertujuan untuk mengetahui apakah trauma yang dialami korban dikategorikan berat, sedang ataupun ringan.
"Dampak trauma itu memang bisa bertahun-tahun kalau dia dibiarkan, makanya ada diangnosa PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). Jadi memang kalau traumatik ini tidak ditangani maka akan ada gangguan yang lebih bahaya," jelasnya.
Baca Juga:PSI Geram dengan Sikap DPR, Koordinator Jubir: Jangan Jadi Pemberi Harapan Palsu
Pengamat Hukum serta dosen dari Universitas 17 Agustus 1945, Isnawati juga memberikan tanggapan. Dia mengatakan, Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RRU TPKS) harusnya segera disahkan oleh DPR RI.
"RUU TPKS ini kan sudah mengalami beberapa kali revisi, dan saya selalu memantau itu. Menurut saya itu sudah cukup bagus. Saya rasa harus segera disahkan, paling tidak tahun ini bisa menjadi regulasi yang sudah diterapkan di Indonesia."
“Walaupun nantinya pada saat disahkan regulasi RUU TPKS terlahir belum sempurna tetapi sudah ada yang mengatur, tapi nanti kedepannya kan bisa di revisi kembali,” imbuhnya.
Dalam perlindungan payung hukum yang ada di RUU TPKS, dia menilai, itu semua sudah cukup bagus, dan sudah mencerminkan substansi atau aspek. Bahkan dasar hukum RUU TPKS sudah cukup kuat untuk segera disahkan.
“Jangan sudah banyak kejadian kekerasan seksual baru kita sedia payung hukumnya, harus segera dijadikan undang-undang supaya didalam penegakan mengerti, jangan sampai kasus seperti terus terjadi lagi,” jelasnya.
Selain itu, dia juga menambahkan, kedepannya DPR RI juga harus membentuk lembaga-lembaga organisasi yang melindungi korban pelecehan seksual.
“Ini salah satu juga yang harus dipikirkan DPR RI untuk membantu lembag-lembaga organisasi yang bisa membantu Komnas HAM dalam menangani kasus pelecehan seksual terhadap perempuan,” katanya.
Tanggapan senada juga disampaikan Anggota DPRD Samarinda, Joni Sinatra Ginting. Berbeda dengan pandangan yang ada di Fraksi Demokrat DPR RI, Joni bahkan dengan tegas meminta pengesahan RUU TPKS itu dilakukan.
Menurutnya, dasar hukum RUU tersebut sudah sangat baik. Ia melanjutkan, cukup disayangkan jika ada beberapa poin yang harus dihilang dalam RUU itu.
"Apalagi yang berhubungan dengan kekerasan fisik. Kita dukung penuh untuk disahkan. Mungkin kelihatannya saja yang seakan-akan dewan tak mendukung, tapi jelas secara personil, kami mendukung. Harusnya sesegera mungkin disahkan," sambatnya.
Ia melanjutkan, soal beberapa poin yang akan dihilangkan, perlu pengkajian ulang mengenai dasar penghilangannya. Katanya pula, jika melihat dari budaya hal tersebut sangat relevan untuk tidak dicabut.
"Jika lihat ke budaya Barat, yah nggak masalah, tapi kalau di kita itu kan aneh? Nggak boleh harusnya dihilangkan. Apalagi masalah kebiri. Kita mengarah keagamaan yah, tidak sesuai dengan apa yang ada di agama. Apalagi berlangsung berulang kali, saya justru heran jika itu dihilangkan," tandasnya mengakhiri.