SuaraKaltim.id - Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) akhirnya menggelar sidang kasus korupsi yang dilakukan Bupati Nonaktif Penajam Paser Utara (PPU), Abdul Gafur Mas'ud (AGM).
Sidang tersebut tak hanya membahas soal AGM, melainkan rekanannya yang lain yang juga ikut dalam kasus yang sama. Mereke adalah Nur Afifah Balqis, Edi Hasmoro, Jusman dan Mulyadi.
Persidangan itu digelar pada Rabu (8/6/2022) pukul 08.30 Wita tadi pagi. Dalam sidang perdana tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ferdian Adi Nugroho mengungkapkan, AGM juga menerima aliran dana selain dari Ahmad Zuhdi.
Untuk diketahui, Ahmad Zuhdi merupakan pemilik perusahaan swasta. Perusahaannya mengerjakan 9 proyek lelang di Dinas PUPR PPU.
Baca Juga:IKN Nusantara Buka Peluang Produksi Amplang di Benuo Taka
"Kita buktikan juga bahwa dia (AGM) juga menerima uang lain tak hanya dari Ahmad Zuhdi tapi juga dari para pemborong, lantas ada juga pemberian dari para pihak-pihak yang memberi perizinan dan ada juga pemberian dari pihak-pihak lainnya," ungkap Ferdian Adi Nugroho saat dijumpai usai mengikuti persidangan, di hari yang sama.
Persidangan yang dipimpin Hakim Ketua, Jemmy Tanjung Utama dengan didampingi Hariyanto dan Fauzi Ibrahim sebagai Hakim Anggota, awalnya lebih dulu menyidangkan tiga terdakwa.
Yakni, Mulyadi selaku Plt Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten PPU, Edi Hasmoro Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Kabupaten PPU dan Jusman sebagai Kepala Bidang Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten PPU.
Selain itu, ketiga terdakwa ini masuk dalam satu berkas perkara bernomor 34/Pid.Sus-TPK/2022/PN Smr. Dan dalam dakwaannya, Mulyadi, Edi Hasmoro dan Jusman juga disebut berperan dalam memenangkan sejumlah proyek kepada Ahmad Zuhdi berdasarkan perintah serta arahan dari AGM.
"Dakwaan ini lanjutan dari terdakwa sebelumnya Ahmad Zuhdi yang mana sudah terbukti bersalah. Sekarang kita akan membuktikan bahwa mereka (AGM, Nur Afifah Balqis, Jusman, Edi Hasmoro dan Mulyadi) benar bersalah dalam kapasitas sebagai penerima suap," tegasnya.
Baca Juga:Lelang Jabatan Sekkab PPU Dibuka untuk Semua ASN dari Seluruh Indonesia, Tapi dengan Catatan
Kemudian, setelah membaca dakwaan Mulyadi, Edi Hasmoro dan Jusman, majelis hakim kemudian melanjutkan agenda sidang selanjutnya.
Yaitu, pembacaan dakwaan eks Bupati AGM bersama Nur Afifah Balqis. Di mana, tercatat dalam berkas perkara nomor 33/Pid.sus-TPK/2022/PN Smr. Bahwa AGM dan Nur Afifah Balqis juga diduga mengetahui uang senilai Rp 5,7 miliar diberikan lantaran berhubungan dengan perizinan dan kewenangan jabatan terdakwa sebagai mantan Bupati PPU.
"Selaku bupati, AGM memiliki otoritas menggerakan aparat dibawahnya untuk melaksanakan apa yang dia inginkan. Apa itu? Yakni mengumpulkan uang untuk operasional sebagai bupati dan selaku fungsionaris partai Demokrat yang mana juga dia ikut kontestasi pemilihan sebagai Ketua DPD Demokrat Kaltim," bebernya.
Sementara itu, mengenai seluruh dakwaan yang telah dibacakan, kelima terdakwa, AGM, Nur Afifah Balqis, Mulyadi, Jusman dan Edi Hasmoro lantas menerima dan mengaku tidak keberatan.
"Mengerti yang mulia, tidak ada keberatan," ucap AGM dalam siaran daring persidangannya di PN Tipikor Samarinda.
Setelah para terdakwa menerima, kemudian majelis hakim menutup persidangan, dan mengagendakan sidang selanjutnya pada Rabu (15/6/2022) mendatang, dan sidang pun nantinya akan digelar sebanyak dua kali dalam sepekan.
Hal tersebut dilakukan bertujuan agar berlangsungnya proses peradilan yang cepat dan proporsional. Sebab sebagaimana diketahui, dalam perkara lima tedakwa kasus korupsi tersebut penyidik KPK seluruhnya memeriksa keterangan dari 160 saksi.
Dari sejumlah saksi, 60 di antaranya direncanakan dihadirkan dalam persidangan selanjutnya dalam agenda pemeriksaan saksi.
"Oke, kalau begitu sidang kita tunda dan dilanjutkan kembali pada 15 Juni mendatang," tutup Ketua Majelis Hakim, Jemmy Tanjung Utama.
Kelimanya pun didakwa dengan pasal yang sama, yakni diancam pidana dalam Pasal 11 juncto Pasal 18 UU RI/31/1999 tentang Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU RI/20/2001 dengan ancaman minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara.
Kontributor : Apriskian Tauda Parulian