SuaraKaltim.id - Berdasarkan data Kementerian Keuangan, Dana Bagi Hasil (DBH) Minyak dan Gas (Migas) yang ditransfer pemerintah pusat ke daerah senilai Rp 20,51 triliun pada 2023 nanti.
Rincinya, sebanyak Rp 5,16 triliun ditransfer ke 20 pemerintah provinsi (Pemprov) dan Rp 14,72 triliun ditransfer ke 337 pemerintah kabupaten/kota.
Sebanyak 5 Pemprov di Sumatera masuk dalam daftar penerima DBH Migas terbesar pada 2023, sementara 2 provinsi lainnya ada di Jawa, 1 di Papua, 1 di Sulawesi dan 1 di Kalimantan.
Melansir dari kaltimtoday.co--Jaringan Suara.com, Selasa (20/12/2022), Pemprov Kaltim tercatat sebagai pemprov yang menerima DBH migas terbesar ke-4 di Indonesia. Yakni, sebanyak Rp 368,07 miliar. Nilai tersebut tidak termasuk DBH yang diterima oleh pemerintah daerah kota/kabupaten di Provinsi Kaltim.
Baca Juga:Temu Tani di Ponorogo, Pupuk Kaltim Pastikan Kesinambungan Program Agrosolution
Sebagai informasi, beberapa kabupaten/kota di Kaltim merupakan penghasil minyak bumi paling besar, seperti Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kota Balikpapan dan Kota Bontang.
Apa itu DBH Migas?
DBH Migas di Indonesia diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi.
DBH Migas diberikan kepada daerah setempat untuk membantu pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, dana ini juga diharapkan dapat memberikan insentif bagi pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya minyak bumi dan gas di daerahnya secara bijaksana dan berkesinambungan.
Baca Juga:Kabar Terkini Kasus Ismail Bolong, Bareskrim Tetapkan 3 Tersangka Perkara Tambang Batu Bara
Dana bagi hasil minyak bumi dan gas diberikan kepada daerah setempat berdasarkan perhitungan yang didasarkan pada besarnya produksi minyak bumi dan gas di daerah tersebut, serta harga jual minyak bumi dan gas yang berlaku pada saat itu.
Persentase dana bagi hasil yang diberikan kepada daerah setempat ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu sebesar 10 persen untuk daerah yang merupakan wilayah operasi produksi minyak bumi dan gas, dan sebesar 5 persen untuk daerah yang bukan merupakan wilayah operasi produksi minyak bumi dan gas.
Di Indonesia, terdapat beberapa perdebatan mengenai DBH Migas. Beberapa perdebatan tersebut diantaranya terkait persentase DBH Migas yang diberikan ke daerah.
Beberapa pihak menilai bahwa persentase DBH Migas yang diberikan kepada daerah terlalu rendah dan tidak sebanding dengan jumlah keuntungan yang diperoleh dari penjualan minyak bumi dan gas di daerah tersebut.
Kemudian, terkait penggunaan DBH Migas yang dinilai tidak sepenuhnya tepat sasaran dan tidak memberikan manfaat yang sesuai bagi masyarakat di daerah-daerah yang memproduksi minyak bumi dan gas.
Terakhir, penentuan harga minyak bumi dan gas. Beberapa pihak menilai harga minyak bumi dan gas yang ditentukan oleh pemerintah tidak sesuai dengan harga pasar dan tidak memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi daerah-daerah yang memproduksi minyak bumi dan gas.