SuaraKaltim.id - Keberadaan Proyek Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara memiliki konsekuensi logis terhadap keberadaan satwa endemik di sekitarnya. Salah satunya ikan pesut yang kini terancam punah di Teluk Balikpapan karena menjadi akses lalu lintas menuju IKN Nusantara dari kawasan perairan.
PRIA paruh baya itu menunggu kedatangan jurnalis SuaraKaltim.id di Dermaga Pelabuhan Kampung Baru Balikpapan di Kamis 16 Maret 2023. Tampak dari kejauhan, sebatang rokok yang menyala dikempit di sela-sela jarinya.
Setelah memastikan kami yang akan diantarnya, ia mempersilakan menaiki perahu yang biasa digunakannya untuk mencari segenggam beras di lautan lepas.
Sedikit hisapan rokok ditariknya, sebelum mengantar kami ke kawasan Teluk Balikpapan yang memisahkan Kota Balikpapan dengan Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU).
Baca Juga:Banjir di Sepaku Bukan Berada di KIPP IKN Nusantara, Tapi di Sini Persisnya
Suara mesin perahu bertenaga 26 pk (paardenkracht) menyala, perahu berukuran panjang 10 meter dengan lebar lebih dari satu meter itu melaju menerjang perairan yang tenang di antara ilir mudik kapal penumpang hingga kapal industri di Teluk Balikpapan.
****
Mansur, begitu nama pria yang mengantarkan kami menuju ke Teluk Balikpapan. Tangannya tampak cekatan mengendalikan perahu kayu yang kami naiki. Tongkat dari kayu yang telah dimodifikasi menjadi pengendali kipas perahu.
Sembari duduk di atas mesin yang berada di buritan perahu, Mansur tampak santai menakhodai laju perahu di Teluk Balikpapan. Maklum saja, menjadi nelayan merupakan nafas hidupnya selama ini.
Dari Pelabuhan Kampung Baru, kami sudah disuguhkan padatnya aktivitas teluk. Perahu yang kami tumpangi melintasi kapal-kapal besar yang tengah berhenti. Mulai dari kapal tanker minyak hingga kapal bermuatan batubara cukup mudah ditemui di Teluk dengan luasan perairan 160 kilometer persegi.
Baca Juga:Duh, Kawasan IKN Sering Dilanda Banjir Tahunan, Sekcam Sepaku: Sudah Dari Dulu
Menurut Mansur, emas hitam berton-ton yang dibawa kapal besar hasil dari Bumi Etam memang melintas setiap hari di Teluk Balikpapan.
Sekitar 30 menit dari pelabuhan kami tiba di salah satu titik yang menjadi tempat munculnya hewan yang kini terancam punah, pesut. Sungai Riko, begitu namanya. Masih termasuk dalam kawasan Kabupaten Penajam Paser Utara.
Sungai Riko bukan sungai berair tawar, tetapi berair payau, lantaran lokasinya menjadi tempat pertemuan air asin dan tawar. Tak heran, jika Sungai Riko menjadi salah satu habitat Pesut Teluk Balikpapan.
Pada bagian tepi sungai ditumbuhi mangrove yang rindang. Sesekali kami menjumpai alat tangkap ikan tradisional, belat yang merupakan alat penangkapan ikan di daerah pasang surut dengan cara mengurung bagian genangan air pasang memakai batang pohon dan jaring.
Alat tangkap belat tergolong alat tangkap yang dapat menangkap ikan dalam jumlah yang banyak, dengan berbagai macam jenis dan ukuran ikan.
Saat yang dinanti seketika hadir di tengah perbincangan kami dengan Mansur. Ikan pesut menampakkan dirinya di kawasan perairan yang sangat tenang dengan embusa angin tidak begitu kencang.
Mansur kemudian mematikan mesin perahu yang kami tumpangi, tanpa menurunkan jangkar. Ini sangat perlu dilakukan jika ingin melihat keberadaan pesut. Untuk diketahui, pesut biasanya merasa terancam ketika mendengar suara bising.
"Nah itu, pesutnya nah," ujar Mansur sambil berteriak di tengah kami sedang asyik ngobrol bersama.
Sontak kami mengarahkan pandangan ke haluan perahu. Benar saja, tampak seekor pesut yang sedang melayang ke udara. Namun lompatannya tidak begitu tinggi, hanya terlihat setengah badannya saja.
Tercatat, dua kali hewan bernama latin Orcaella brevirostris menunjukkan kepalanya di permukaan Sungai Riko, sekira jam 09.00 Wita. Tetapi, kemunculan pesut itu hanya berkisar lima detik saja.
Sayangnya, kami hanya melihat seekor saja. Padahal, kami mencoba menunggu kemunculannya lagi hingga 10 menit dan tetap tidak muncul lagi. Menurut Mansur, penampakan pesut di Sungai Riko kini sudah mulai jarang.
"Waktu masih 10 tahunan lalu, mereka (pesut) lebih sering di sini (Sungai Riko). Karena ini juga jadi tempat memancing nelayan. Mulai dari ikan kerapu, trakulu, hingga udang," katanya.
Mansur kemudian mengantar kami ke titik lainnya, Muara Tempadung, yakni perairan di dekat Desa Jenebora Kecamatan Sepaku dan Pantai Lango. Sepanjang perjalanan, kembali kami menjumpai kapal-kapal besar hingga perusahaan industri di sisi Teluk Balikpapan, termasuk Kawasan Industri Kariangau (KIK) yang sangat ramai.
Sebelum tiba di lokasi yang dituju, seorang rekan mengajak untuk menepi di pinggiran teluk. Rupanya, ia melihat pohon mangrove yang sangat langka. Camptostemon philippinense, begitu nama jenis mangrove yang langka itu.
Dari kesaksian pemerhati lingkungan, mangrove itu hanya bisa ditemui di Teluk Balikpapan dan tentu saja kelestariannya mulai terancam punah.
Setelah melihat-lihat, kami melanjutkan perjalanan menengok mangrove kuning. Secara ilmiah, mangrove tersebut berjenis Rhizophora sp, tapi warna kuning didapat masih jadi pertanyaan.
"Ini dari dulu warnanya kuning. Masyarakat adat sini mempercayai mangrove ini sebagai keramat. Waktu itu ada kapal nabrak mangrove ini, diminta untuk upacara adat," jelas Mansur.
***
Arus begitu tenang, matahari terik tapi tak menyengat. Mansur kembali memegang kendali perahu menuju titik tempat pesut biasa menampakkan dirinya, yakni di Perairan Pantai Lango, yang juga menjadi area tangkapan nelayan sekitar, termasuk Mansur.
Mesin perahu kembali dimatikan, tanpa menurunkan jangkar. Perahu kini berdiam mengikuti arus. Tiba-tiba terlihat seperti dua batang pohon yang hanyut.
"Itu pesut itu. Itu pesut," seloroh Mansur dengan menunjuk ke arah depan.
Jaraknya pun tak cukup jauh, sekira lima meter. Kali ini, sedikit lebih lama dibanding penampakan pesut di Sungai Riko, sekira 15 detik. Ekornya saat hendak menyelam terlihat jelas. Setelah itu tak menampakkan lagi.
Bagi masyarakat Pantai Lango dan Jenebora, pesut sudah seperti pemberi sinyal. Sebuah navigasi keberadaan ikan bagi masyarakat. Namun itu berlaku 10 tahun yang lalu.
Sejatinya, pesut dengan Warga Jenebora maupun Pantai Lango sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Pesut yang dikenal sebagai mamalia jinak, kerap bermain-main hingga di tepi rumah warga yang menjorok ke pinggir laut.
Menurut Mansur, terkadang pesut masuk ke sela-sela bawah rumah. Tapi kini, pemandangan yang hanya ada dalam ingatan pria berusia kepala empat ini tinggalah kenangan semata.
"Sekarang susah cari ikan. Ya bisa dilihat saja, pesut sudah jarang terlihat. Padahal biasanya di mana ada pesut di situ ada karang yang menandakan ada banyak ikan juga," katanya.
Bagi Mansyur yang berasal dari Desa Jenebora, Teluk Balikpapan merupakan bagian dari kehidupannya. Dari hasil Teluk Balikpapan, ia bertahan hidup menafkahi keluarganya. Ia mengungkapkan, saat ini hanya mampu mendapatkan dua hingga lima kilogram ikan per hari.
Diakuinya, saat ini memang sulit mendapatkan ikan, apalagi sejak banyaknya industri bermunculan di sekitar Teluk Balikpapan. Lantaran itu pula yang membuat anak-anak Mansur enggan mengikuti jejaknya sebagai nelayan.
"Anak saya tiga. Pertama dan kedua sudah kerja di perusahaan. Mereka juga tidak tertarik jadi nelayan, nyamannya kerja di perusahaan karena ada gaji tetap," jelas Mansur.
Banyaknya aktivitas industri di pesisir teluk seperti Kawasan Industri Kariangau dan Kawasan Industri Buluminung membuat keberadaan pesut kian terancam. Belum lagi, proyek IKN yang menjadikan Teluk Balikpapan sebagai jalur untuk mendistribusikan logistik.
Teluk Balikpapan Memprihatinkan
Direktur Eksekutif Pokja Pesisir, Mappaselle mengungkapkan, kondisi Teluk Balikpapan saat ini sangat memprihatinkan. Bahkan sebelum keberadaan proyek IKN, Teluk Balikpapan sudah mengalami degradasi.
Kondisi tersebut secara umum memicu habitat pesut mengalami tekanan sejak kehadiran industri di Teluk Balikpapan. Bahkan, tekanan kian bertambah dengan pembangunan proyek di IKN.
"Dulu itu pesut mudah ditemukan di daerah Kariangau, Jembatan Pulau Balang, dekat sungai Riko. Kawasan untuk kepentingan tol itu sangat mempengaruhi ekosistem di Teluk. Jika lahan dibuka sedimen mudah masuk ke Teluk Balikpapan. Kami mengusulkan itu dari dulu agar ditetapkan sebagai kawasan konservasi," ujar Mappasale.
Dalam catatan Pokja Pesisir, saat ini sudah terjadi pembukaan lahan mangrove di tujuh titik sejak Kawasan Sepaku ditetapkan menjadi IKN. Setidaknya ada 300 hingga 400 hektare lahan mangrove yang dibabat habis dari total lahan 17 ribu hektare.
Keberadaan mangrove sendiri sebenarnya membantu warga, karena bagaimanapun juga warga pesisir hingga nelayan, menggantungkan hidupnya dari teluk tersebut. Untuk menjaganya, para warga turut melakukan monitoring keadaan Teluk di Balikpapan.
"Setelah ada penetapan IKN. Mulailah muncul plang yang mengklaim kepemilikan mangrove. Setelah keluar undang-undang mulai terjadi pembukaan mangrove. Klaim dilaporkan nelayan saat terjadi pembukaan mangrove. Ada yang sampai KLHK turun," katanya.
Deputi Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorita IKN Myrna Asnawati Safitri menegaskan, pentingnya kerja sama antardaerah untuk lingkungan hidup, termasuk pengelolaan dan perlindungan Teluk Balikpapan.
Salah satunya koridor satwa yang sedang dipersiapkan penyusunannya untuk perlindungan satwa.
"Di wilayah IKN berlaku Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis IKN dan RDTR, (bukan RTRW Kaltim) di mana sebagian besar ekosistem mangrove masuk areal lindung," jelasnya.
***
Secara umum, setidaknya ada dua jenis pesut yang ada di Kalimantan Timur, yakni pesut Teluk Balikpapan dan pesut Mahakam.
Menurut Danielle Kreb peneliti dari Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI), secara DNA kedua pesut sudah berbeda. Dilihat secara morfologi, Pesut Mahakam cukup gemuk dibandingkan Pesut Teluk Balikpapan. Kedua pesut itu sama-sama dalam kondisi terancam punah.
"Kalau dilihat dari rawan kepunahan tentu Pesut Mahakam yang paling kritis. Tapi keduanya sama-sama terancam punah," kata Danielle.
Ukuran pesut memiliki panjang hingga 114 cm dengan berat hampir 50 kilogram untuk pesut dewasa. Sedangkan bayi pesut memiliki panjang 91 cm dengan berat sekira 10 kilogram.
Mereka memiliki kebiasaan hidup berkelompok. Biasanya satu kelompok terdapat 4 hingga 12 ekor. Makanan mereka biasanya ikan-ikan kecil, cumi-cumi, hingga udang.
"Ketika mereka mengobok-obok air dari dalam ke permukaan itu membantu terjadinya fotosintesis. Dia turut mengangkat plankton yang jadi sumber makan ikan. Artinya, rantai makanan berjalan dengan baik," ujar Danielle.
Menghitung Pesut yang Tersisa
Data terakhir yang dimiliki RASI pada 2015 ada 73 ekor Pesut Teluk Balikpapan. Jumlah tersebut masih bisa berkurang pasca tumpahan minyak di Teluk pada 2018 silam. Saat itu ditemukan tiga pesut yang mati karena tumpahan minyak.
Pesut Teluk Balikpapan merupakan penghuni tetap atau residen untuk Teluk Balikpapan, karena 54 persen dari seluruh individu yang pernah diidentifikasi dari tahun 2008, 2011, dan 2015 ditemukan dalam survei dengan interval tiga hingga empat tahun dan tahun tahun mengindikasikan bergantungnya pesut pada Teluk Balikpapan.
Tak hanya pesut, biodiversitas lainnya seperti buaya muara, bekantan, dugong, hingga lumba-lumba juga menggantungkan hidup di Teluk Balikpapan.
Namun, sejak ada pembangunan proyek IKN malah membuat sejumlah hewan endemik tersebut terancam. Pesut sendiri butuh jarak kurang lebih 500 meter dari kegiatan industri agar merasa aman. Walau sesekali pernah ditemui di dekat industri, seperti yang kami temui di sekitar Pantai Lango.
"Terkait makanan, dia berada lokasi yang mudah ada ikan. Meskipun ada gangguan mereka berupaya untuk mencari makanan," jelas Danielle.
RASI sejauh ini sudah memberikan rekomendasi kepada pemerintah agar kehidupan pesut bisa terjaga selama ada IKN dan maraknya industri di kawasan Teluk Balikpapan. Seperti menjadikan daerah hulu Teluk Balikpapan sebagai kawasan konservasi.
"Perlu zonasi multiple stakeholder agar bermanfaat bagi semua pihak. Penegakan hukum yang dapat memberikan perlindungan bagi keberadaan ekosistem teluk. Juga tidak membuka mangrove untuk industri atau pelabuhan besar. Kapalnya harus dibatasi juga," katanya.
Sementara untuk kegiatan industri di Teluk Balikpapan, RASI menyatakan perlu adanya pemantauan langsung dari pihak independen untuk mencegah gangguan dan kerusakan pada organ pendengaran dari biota laut seperti pesut, lumba-lumba dan duyung.
"Khususnya kegiatan percussive pilling untuk tancap pipa dasar laut perlu menerapkan protokol," katanya.
Sementar di sisi lain hulu Teluk Balikpapan mempunyai potensi wisata yang tinggi. Keberadaan pesut, bekantan, kera ekor panjang, lutung kelabu, dan burung menjadikan nilai ekowisata sangar tinggi.
"Estetika wilayah perlu di jaga supaya pesan tetap asri dan indah," tegas Danielle.
Nasib pesut kini berada dalam genggaman para pemangku kepentingan. Tentunya hewan yang melekat sebagai ikon Kota Samarinda ini mesti diberikan keistimewaan agar tak punah.
Jika tidak, maka kita hanya membagikan cerita kepada anak cucu kita bahwa Teluk Balikpapan merupakan salah satu pusat kehidupan lumba-lumba Irrawaddy atau pesut.
Kontributor : Arif Fadillah