Cuaca Tak Menentu di Kaltim, BMKG Imbau Waspada Bencana Hidrometeorologi

Dari sisi intensitas hujan secara musiman, BMKG menyebut bahwa sebagian besar wilayah Kaltim akan mengalami sifat hujan normal dengan kisaran 85 hingga 115 persen.

Denada S Putri
Senin, 14 Juli 2025 | 15:45 WIB
Cuaca Tak Menentu di Kaltim, BMKG Imbau Waspada Bencana Hidrometeorologi
Ilustrasi cuaca tidak menentu. [Ist]

Sebagian warganet menyebut fenomena tahunan ini sebagai penyebab cuaca dingin dan potensi penyakit musiman.

Namun, BMKG Stasiun Meteorologi Kelas I SAMS Sepinggan Balikpapan menepis anggapan tersebut.

Hal itu disampaikan Kepala BMKG Sepinggan, Kukuh Ribudiyanto, Senin, 7 Juli 2025, di Balikpapan.

“Fenomena ini memang sedang terjadi, namun dampak signifikannya tidak ada karena jarak matahari dan bumi memang sudah sangat jauh,” tegas Kukuh.

Baca Juga:Pendamping PKH Jadi Garda Depan Sekolah Rakyat di Kaltim

Aphelion sendiri merupakan momen ketika Bumi berada pada titik terjauhnya dari Matahari dalam orbit tahunannya, yang biasa terjadi antara awal hingga pertengahan Juli.

Meski jarak meningkat dari sekitar 147 juta kilometer menjadi 152 juta kilometer, BMKG menegaskan bahwa hal ini tidak berdampak nyata terhadap suhu di permukaan Bumi.

“Perbedaan jarak hingga ratusan kilometer ini tidak memberikan perubahan suhu yang signifikan,” ujarnya.

Kukuh justru menekankan bahwa faktor utama yang memengaruhi cuaca di Indonesia—termasuk Kalimantan Timur—adalah distribusi awan, tekanan udara, dan pola angin.

Saat ini, wilayah Indonesia sedang memasuki masa peralihan dari musim hujan ke kemarau, sehingga cuaca menjadi tidak menentu, kelembapan tinggi, dan hujan lokal masih sering terjadi.

Baca Juga:IKN Harus Bebas Praktik Prostitusi, Polda Kaltim Rutin Gelar Patroli Penginapan

“Kelembapan yang tinggi dan suhu yang berubah-ubah bisa berdampak pada kondisi kesehatan, misalnya batuk, pilek, atau penyakit lain yang berhubungan dengan daya tahan tubuh,” katanya.

Seiring dengan isu Aphelion, beredar pula narasi menyesatkan yang mengaitkannya dengan risiko pandemi baru. BMKG dengan tegas membantah klaim tersebut.

“Fenomena Aphelion ini berulang setiap tahun dan bukan sesuatu yang luar biasa,” jelas Kukuh.

Lebih jauh, ia menyebutkan bahwa tren penyakit seperti demam berdarah lebih dipicu oleh lingkungan lembap dan genangan air akibat hujan, yang mempercepat siklus hidup nyamuk Aedes aegypti.

“Kalau dibandingkan suhu permukaan, pengaruh Aphelion itu sangat kecil. Suhu di Indonesia lebih dipengaruhi oleh pola angin, awan, dan kelembapan,” jelasnya.

Sebagai penutup, Kukuh mengajak masyarakat untuk tetap bijak dalam menerima informasi cuaca dan kesehatan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini