SuaraKaltim.id - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim) tengah mengupayakan transformasi infrastruktur jalan milik swasta menjadi jalur strategis publik guna mempercepat konektivitas kawasan pesisir.
Jalan sepanjang 38 kilometer yang saat ini berada dalam area perkebunan PT Etam Bersama Lestari (EBL) di Desa Pelawan, Kecamatan Sangkulirang, Kutai Timur (Kutim), telah lama dimanfaatkan masyarakat sebagai jalur harian.
Melihat urgensi akses tersebut, Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud atau akrab disapa Harum, menyatakan pihaknya sedang menjajaki opsi pengambilalihan pengelolaan jalan dari perusahaan.
Hal itu disampaikan Rudy saat berkunjung ke utara Kaltim, Senin, 14 Juli 2025, di Simpang 46, Berau.
Baca Juga:Rudy Masud Unggul Sendiri, Arah Musda Golkar Kaltim Kian Terbaca
“Kami sedang melakukan negosiasi agar jalan ini dapat dikelola oleh pemerintah. Tujuannya agar jalur ini terhubung langsung ke wilayah pesisir,” ujar Rudy, disadur dari kaltimtoday.co--Jaringan Suara.com, Senin, 21 Juli 2025.
Jalur ini dinilai vital dalam mempercepat distribusi logistik dan mobilitas antarwilayah, khususnya dari Berau menuju Kutai Timur (Kutim), Bontang, dan Samarinda.
Kawasan pesisir yang dimaksud meliputi Biduk-Biduk, Talisayan, hingga Tanjung Redeb—daerah yang juga menjadi tulang punggung pariwisata Kaltim.
“Jika dikelola pemerintah, jalan ini akan memberikan manfaat ganda, baik bagi perusahaan maupun masyarakat,” tegas Harum.
Kepala Dinas PUPR Kaltim, Aji M. Fitra Firnanda, menyebut panjang total jalur Sangkulirang–Simpang Lenggok di Berau mencapai 98 kilometer, dan 38 kilometer di antaranya berada dalam kawasan PT EBL.
Baca Juga:Saat Tambang Melemah, Ekowisata Jadi Nafas Baru Ekonomi Kaltim
Ia menegaskan bahwa akses tersebut sudah dimanfaatkan masyarakat untuk kegiatan sehari-hari.
"Memang jalan itu berada di dalam areal kebun sawit perusahaan, tapi masyarakat menggunakannya untuk aktivitas harian. Ini menunjukkan pentingnya akses tersebut," kata Nanda—sapaan akrabnya.
Namun, proses menuju kesepakatan masih menghadapi hambatan.
“Masih belum ada kejelasan dari PT EBL mengenai komitmen mereka untuk mendukung rencana ini,” tambahnya.
Gubernur Harum pun menegaskan perlunya intensifikasi komunikasi dengan pihak perusahaan.
“Kita perlu menjalin komunikasi yang lebih intens dan solutif dengan pihak perusahaan. Ini demi kepentingan bersama,” pungkasnya.
Merawat Kearifan Lokal lewat Festival yang Menyentuh Hati
Helo East Festival 2025 yang berlangsung pada 17–18 Juli di Atrium City Centrum Mall Samarinda menghadirkan wajah baru kolaborasi komunitas di Kalimantan Timur (Kaltim).
Diselenggarakan atas inisiatif Helo Kaltim, Puan Lestari, dan Hetifah Scholarship Association (HSA), festival ini tak hanya disokong oleh Komisi X DPR RI dan Kementerian Kebudayaan RI, tetapi juga digerakkan oleh semangat kolektif warga lintas bidang.
Selama dua hari, komunitas budaya, lingkungan, dan pendidikan melebur dalam berbagai aktivitas kreatif dan diskusi, yang menegaskan pentingnya keterlibatan publik dalam menjaga identitas lokal.
“Festival ini bukan cuma soal hiburan, tapi bagaimana kita bisa saling terkoneksi, memahami budaya dan alam kita lewat karya serta diskusi lintas sektor,” ujar Hanna Pertiwi, Founder Puan Lestari dan penanggung jawab acara, Kamis, 17 Juli 2025.
Hari pertama dibuka dengan lokakarya kreatif membuat string paper bertema lokal yang dipandu ilustrator Hadi Wardoyo.
Peserta diajak merangkai gantungan kunci bermotif khas Kalimantan Timur—mulai dari pesut Mahakam hingga anggrek hitam—sembari menyerap nilai-nilai filosofis di baliknya.
“Selama ini kita sering lihat motif batik di pakaian, tapi kita belum tentu tahu filosofi di baliknya. Di sini kita belajar warna mana yang digunakan, apa artinya, dan bagaimana cara merangkainya,” jelas Hanna.
Diskusi keberlanjutan budaya dilanjutkan oleh Anas Mahfur dari komunitas AEMTOBE, yang mengajak publik mengenali motif batik sebagai warisan yang hidup, bukan sekadar ornamen.
Di hari kedua, Community Talks menjadi titik temu antaraktivis muda dari berbagai komunitas di Samarinda. Tujuannya: menyinergikan aksi lintas kelompok untuk memperkuat gerakan sosial berbasis nilai lokal.
“Kita ingin tahu, peran aku di komunitasku seperti apa? Kamu di komunitasmu seperti apa? Kalau digabung, bisa jadi gerakan yang lebih besar,” ujar Hanna.
Forum berlanjut ke dua sesi talk show. Sesi pertama menyorot peran pemerintah dan kebijakan dalam pelestarian lingkungan dan budaya, menghadirkan tokoh-tokoh seperti Amira Kaca (PhD Oxford), aktivis konservasi Suryani Ino, dan akademisi EKRAF Kaltim, Erwianto.
Sesi kedua menggali praktik lapangan komunitas lingkungan, mulai dari gerakan World Cleanup Day Kaltim yang dipimpin Fatur Rahman Subianto, hingga proyek pendidikan ekologis dari Borneo Venture yang melibatkan pemuda terjun langsung ke hutan dan komunitas adat.
“Mereka enggak cuma jalan-jalan ke hutan, tapi membaur dengan warga, belajar menari, mengenal tanaman hutan, hingga memahami cara menjaga alam tanpa merusaknya,” kata Hanna.
Penutupan festival dipenuhi nuansa emosional melalui penampilan musik tradisional sape oleh Rio Satrio dan puisi lingkungan dari Radika dan Zahra.
“Karya mereka menyuarakan harapan agar ini bukan sekadar seremoni, tapi awal dari gerakan yang lebih solid dan berkelanjutan,” tambah Hanna.
Melalui pendekatan edukatif yang ringan, kreatif, dan inklusif, Helo East Festival 2025 menghidupkan kembali peran komunitas sebagai pilar penting dalam pelestarian budaya dan lingkungan.
“Semoga ini menjadi semangat baru buat komunitas-komunitas di Kalimantan Timur. Kita rawat bumi dan budaya kita, bareng-bareng, mulai dari yang kecil tapi berdampak,” tutur Hanna.