Seragam Terlalu Mahal? Ini Langkah Disdikbud Samarinda Kendalikan Harga

Ia mencontohkan harga buku kesehatan yang seharusnya Rp 13 ribu, tapi dijual hingga Rp 50 ribu di beberapa sekolah.

Denada S Putri
Senin, 21 Juli 2025 | 20:48 WIB
Seragam Terlalu Mahal? Ini Langkah Disdikbud Samarinda Kendalikan Harga
Kepala Disdikbud Samarinda, Asli Nuryadin. [kaltimtoday.co]

SuaraKaltim.id - Keresahan orang tua siswa soal mahalnya harga seragam dan atribut sekolah mendorong Komisi IV DPRD Samarinda bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) turun tangan.

Dalam rapat dengar pendapat yang digelar Senin, 21 Juli 2025, kedua lembaga membahas penyusunan skema harga wajar sebagai bentuk respons cepat atas arahan Wali Kota Samarinda.

“Kita sudah serahkan konsepnya ke Pak Wali pagi tadi. Sekarang kami menunggu persetujuan beliau. Harapannya minggu ini bisa diselesaikan dan segera disosialisasikan ke seluruh sekolah sebagai acuan,” ujar Kepala Disdikbud Samarinda, Asli Nuryadin, usai rapat, disadur dari kaltimtoday.co--Jaringan Suara.com.

Asli mengungkapkan, konsep standar satuan harga (SSH) telah dirumuskan berdasarkan survei daring, memperhitungkan ongkos pengiriman, dan margin koperasi sekolah.

Baca Juga:"Kita Harus Bantu Big Mall" Wali Kota Soroti Nasib Tenaga Kerja Usai Kebakaran

Konsep ini tidak hanya menyasar seragam utama, tapi juga atribut pelengkap yang selama ini dijual dengan harga tidak wajar.

“Harga yang tidak wajar itu yang kemudian dikeluhkan oleh orang tua. Makanya kami siapkan rentang harga yang masuk akal,” jelasnya.

Ia mencontohkan harga buku kesehatan yang seharusnya Rp 13 ribu, tapi dijual hingga Rp 50 ribu di beberapa sekolah.

Asli menekankan bahwa koperasi sekolah tidak seharusnya mencari keuntungan besar dari penjualan atribut murid.

"Sudah sering kami tekankan bahwa koperasi jangan mengambil untung besar. Kalau perlu, harga disamakan saja dengan pasar,” tegasnya.

Baca Juga:Pendidikan Setara Dimulai dari Samarinda: Sekolah Rakyat Targetkan 1.000 Siswa

Selain itu, Disdikbud juga mengevaluasi kewajiban beberapa jenis pakaian sekolah. Menurut Asli, PDH (Pakaian Dinas Harian) dan jas almamater tidak lagi masuk dalam daftar wajib.

“Item lain di luar daftar yang kami susun tidak boleh ditambahkan, seperti psikotes atau asuransi, itu tidak perlu ada,” tambahnya.

Terkait sekolah yang sudah melakukan transaksi seragam sebelum adanya acuan SSH resmi, Disdikbud akan bersikap fleksibel namun tetap tegas.

“Bagi sekolah yang sudah melakukan jual beli dan harganya di bawah dari konsep SSH yang kami tetapkan tentu tidak masalah, tapi sebaliknya yang harganya melebihi SSH yang ditetapkan maka kami akan beri treatment khusus,” tandasnya.

Sebagai solusi jangka menengah, beberapa komponen yang dianggap penting namun membebani orang tua akan dimasukkan ke dalam pembiayaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), seperti kartu pelajar, buku kesehatan, dan panduan kegiatan awal tahun ajaran baru (MPLS).

Meski saat ini belum ada anggaran khusus dari APBD untuk pengadaan seragam, Asli berharap hal itu bisa diakomodasi tahun depan.

“Kita belum menganggarkan karena kemarin fokus penyelesaian LKPD. Tapi semoga tahun depan bisa diambil alih oleh APBD, khususnya untuk baju olahraga dan batik,” ujarnya.

Ia juga memastikan bahwa segala pembiayaan yang diusulkan telah dikalkulasi agar tidak membebani dana BOS pusat maupun daerah.

“Sudah diperhitungkan agar proporsional dan efisien,” tutupnya.

Pemprov Kaltim Bidik Jalan Perkebunan Jadi Akses Pesisir Strategis

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim) tengah mengupayakan transformasi infrastruktur jalan milik swasta menjadi jalur strategis publik guna mempercepat konektivitas kawasan pesisir.

Jalan sepanjang 38 kilometer yang saat ini berada dalam area perkebunan PT Etam Bersama Lestari (EBL) di Desa Pelawan, Kecamatan Sangkulirang, Kutai Timur (Kutim), telah lama dimanfaatkan masyarakat sebagai jalur harian.

Melihat urgensi akses tersebut, Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud atau akrab disapa Harum, menyatakan pihaknya sedang menjajaki opsi pengambilalihan pengelolaan jalan dari perusahaan.

Hal itu disampaikan Rudy saat berkunjung ke utara Kaltim, Senin, 14 Juli 2025, di Simpang 46, Berau.

“Kami sedang melakukan negosiasi agar jalan ini dapat dikelola oleh pemerintah. Tujuannya agar jalur ini terhubung langsung ke wilayah pesisir,” ujar Rudy, disadur dari kaltimtoday.co--Jaringan Suara.com, Senin, 21 Juli 2025.

Jalur ini dinilai vital dalam mempercepat distribusi logistik dan mobilitas antarwilayah, khususnya dari Berau menuju Kutai Timur (Kutim), Bontang, dan Samarinda.

Kawasan pesisir yang dimaksud meliputi Biduk-Biduk, Talisayan, hingga Tanjung Redeb—daerah yang juga menjadi tulang punggung pariwisata Kaltim.

“Jika dikelola pemerintah, jalan ini akan memberikan manfaat ganda, baik bagi perusahaan maupun masyarakat,” tegas Harum.

Kepala Dinas PUPR Kaltim, Aji M. Fitra Firnanda, menyebut panjang total jalur Sangkulirang–Simpang Lenggok di Berau mencapai 98 kilometer, dan 38 kilometer di antaranya berada dalam kawasan PT EBL.

Ia menegaskan bahwa akses tersebut sudah dimanfaatkan masyarakat untuk kegiatan sehari-hari.

"Memang jalan itu berada di dalam areal kebun sawit perusahaan, tapi masyarakat menggunakannya untuk aktivitas harian. Ini menunjukkan pentingnya akses tersebut," kata Nanda—sapaan akrabnya.

Namun, proses menuju kesepakatan masih menghadapi hambatan.

“Masih belum ada kejelasan dari PT EBL mengenai komitmen mereka untuk mendukung rencana ini,” tambahnya.

Gubernur Harum pun menegaskan perlunya intensifikasi komunikasi dengan pihak perusahaan.

“Kita perlu menjalin komunikasi yang lebih intens dan solutif dengan pihak perusahaan. Ini demi kepentingan bersama,” pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini