SuaraKaltim.id - Ibu Kota Nusantara (IKN) dicanangkan sebagai simbol masa depan Indonesia yang berkelanjutan, kota hutan netral karbon, dan pusat pemerintahan yang bersahabat dengan alam.
Namun kenyataannya, kawasan ini justru menyimpan skandal besar: tambang batubara ilegal yang telah beroperasi sejak 2016, bahkan hingga kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto.
Kasus ini terbongkar setelah Bareskrim Polri menyita 351 kontainer batubara ilegal dan mengungkap praktik manipulasi dokumen menggunakan nama perusahaan pemegang Izin Usaha Produksi (IUP).
Temuan ini memperlihatkan betapa longgarnya pengawasan atas aktivitas pertambangan, bahkan di kawasan yang digadang-gadang sebagai proyek strategis nasional.
Baca Juga:Belum Final, Rencana Wapres Gibran Berkantor di IKN Tunggu Arahan Presiden
Koalisi masyarakat sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyebut skandal ini sebagai bukti nyata bobroknya sistem pengawasan sektor minerba.
Mereka menilai, kerugian negara akibat praktik ini sangat besar dan tak bisa dianggap sepele.
“Kasus ini bukan sekadar insiden, melainkan indikasi kegagalan pengawasan sektor pertambangan minerba. Bagaimana mungkin tambang ilegal bisa beroperasi begitu lama di kawasan prioritas nasional seperti IKN tanpa deteksi dini?” tegas Adzkia Farirahman (Azil), Peneliti PWYP, Rabu, 17 April 2025.
PWYP memperkirakan kerugian negara mencapai Rp 5,7 triliun—yang terdiri dari deplesi batubara sebesar Rp 3,5 triliun dan kerusakan hutan senilai Rp 2,2 triliun.
Tambang-tambang tersebut tersebar di area yang semestinya steril dari aktivitas ekstraktif, termasuk kawasan lindung dan area perencanaan inti IKN.
Baca Juga:Rudy Masud Sesalkan Insiden Hambatan Pers: Itu Spontan dan Di Luar Kendali Saya
Ironisnya, pengawasan yang diklaim sudah diperkuat melalui pembentukan Satgas Penanganan Tambang Ilegal justru belum menunjukkan hasil nyata.
Satgas yang dibentuk sejak 2023 oleh Otorita IKN (OIKN) bersama aparat penegak hukum belum mampu menghentikan praktik tambang liar yang telah berjalan hampir satu dekade.
“Satgas ini dibentuk untuk memperkuat pencegahan penambangan ilegal selaras dengan visi IKN sebagai kota hutan rendah emisi karbon. Tapi apa hasilnya? Operasi tambang ilegal tetap berlangsung bertahun-tahun,” kritik Azil.
PWYP pun mendesak adanya evaluasi total terhadap efektivitas Satgas, termasuk audit menyeluruh atas seluruh IUP di sekitar IKN dan penguatan sistem digital pemantauan berbasis masyarakat.
“Reformasi pengawasan harus melibatkan masyarakat. Transparansi dalam pengelolaan tambang harus dibuka agar publik bisa ikut serta mengawasi,” lanjut Azil.
Modus para pelaku pun bukan hal baru. Batu bara hasil tambang ilegal dikemas dalam karung, dikumpulkan di stock room, kemudian dikirim lewat kontainer dengan menggunakan dokumen legal dari perusahaan resmi, seperti PT MMJ dan PT BMJ.