Dari Tragedi 1965 hingga Lubang Tambang, Aksi Kamisan Kaltim Terus Menolak Lupa

Ia adalah tanda bahwa tuntutan keadilan masih hidup, dari tragedi 1965 hingga kasus-kasus lokal seperti lubang tambang yang merenggut nyawa puluhan anak di Kaltim.

Denada S Putri
Sabtu, 16 Agustus 2025 | 16:45 WIB
Dari Tragedi 1965 hingga Lubang Tambang, Aksi Kamisan Kaltim Terus Menolak Lupa
Pagelaran berjalannya 8 Tahun Aksi Kamisan. [SuaraKaltim.id/Giovanni Gilbert]

SuaraKaltim.id - Trotoar di depan Kantor Gubernur Kalimantan Timur tak pernah benar-benar sepi setiap Kamis sore.

Payung-payung hitam yang terbentang di Teras Samarinda telah menjelma simbol perlawanan terhadap lupa, tanda bahwa Aksi Kamisan Kaltim terus hadir menjaga suara keadilan.

Sejak 2017, gerakan ini bukan hanya agenda mingguan, tetapi juga ruang konsistensi moral bagi warga sipil, mahasiswa, aktivis, hingga seniman untuk menegaskan: pelanggaran HAM berat di negeri ini belum pernah selesai.

Peringatan delapan tahun Aksi Kamisan Kaltim pada Kamis, 7 Agustus 2025, menjadi momentum refleksi panjang.

Baca Juga:Kunjungan Gubernur Kaltim Disambut Infrastruktur Baru di Kampung Sidrap

Dalam rentang delapan tahun itu, aksi ini telah melewati tiga kepemimpinan gubernur—dari Awang Faroek Ishak, Isran Noor, hingga Rudy Mas’ud—namun pesan yang dibawa tak berubah: menolak diam terhadap impunitas.

Hadir langsung di Samarinda, Maria Catarina Sumarsih, sosok yang selama hampir dua dekade konsisten menyuarakan keadilan bagi korban pelanggaran HAM, kembali mengingatkan bahwa gerakan ini bukanlah seremonial.

“Ya saya salut terhadap kesetiaan hingga keteguhan kawan-kawan di Samarinda, termasuk Kaltim. Semoga apa yang mereka lakukan bermanfaat untuk masyarakat,” ucapnya.

Ia juga menyinggung problem yang melekat di Kalimantan Timur, seperti 53 korban lubang tambang sejak 2011 yang menurutnya lahir dari kelalaian pemerintah. Belum lagi kasus penghalangan kerja jurnalis yang dilakukan ajudan gubernur baru-baru ini.

“Jangan takut dengan para wartawan, jangan takut dengan para jurnalis, karena para wartawan, para jurnalis adalah pembawa kebenaran,” tegas Sumarsih.

Baca Juga:Gratispol Terancam? Pokja 30 Soroti Alokasi Pendidikan di APBD Perubahan Kaltim

Dukungan serupa juga datang dari KontraS. Jane Rosalina menyebut Aksi Kamisan Kaltim sebagai ruang aman sekaligus media edukasi publik agar sejarah kelam bangsa tidak terkubur.

“Delapan tahun perjalanan Aksi Kamisan Kaltim membuktikan bahwa gerakan ini tidak bergantung pada situasi politik atau tren isu. Ia berjalan karena ada kesadaran moral yang mengikat,” katanya.

Suasana peringatan diwarnai pakaian hitam, payung-payung terbuka, hingga bendera Palestina dan One Piece yang dibawa peserta.

Semua mengingatkan pada tagline yang terus diusung: merawat ingatan, menolak lupa.

Bagi mereka yang setia hadir, berdiri diam selama satu jam di bawah terik atau hujan bukan sekadar simbol.

Itu adalah pilihan sadar untuk menjaga memori kolektif, untuk menegaskan bahwa kemanusiaan harus selalu ditempatkan di atas segalanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini