-
Perusahaan sawit siap hadapi EUDR – Gapki menegaskan anggota perusahaan sawit nasional tidak membuka lahan baru setelah 31 Desember 2020, sesuai regulasi anti-deforestasi Uni Eropa.
-
Tantangan utama ada di petani – Petani belum memiliki regulasi ketat, sehingga perlu masuk dalam sistem traceability dan due diligence agar EUDR bisa diterapkan secara menyeluruh.
-
Masa transisi beri peluang kepatuhan – Dengan tenggat enam bulan untuk perusahaan dan satu tahun untuk petani, Indonesia memiliki kesempatan memperbaiki sistem dan menjaga kelancaran ekspor ke Eropa.
SuaraKaltim.id - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menegaskan bahwa industri sawit nasional pada dasarnya siap menghadapi regulasi anti-deforestasi Uni Eropa (EUDR).
Namun, tantangan terbesar justru berada di tingkat petani.
Ketua Umum Gapki, Eddy Martono, menyampaikan bahwa EUDR tetap akan diberlakukan mulai Desember 2025, tetapi dengan masa transisi.
Uni Eropa memberi tenggat enam bulan untuk perusahaan besar dan satu tahun bagi petani serta pelaku usaha kecil agar dapat menyesuaikan diri.
Baca Juga:Dukungan Petani dan Nelayan Jadi Energi Baru untuk IKN
“Kalau kita lihat dari sisi perusahaan, Indonesia sebenarnya sudah cukup siap. Hampir semua anggota Gapki tidak ada pembukaan lahan baru setelah 31 Desember 2020, yang menjadi batas dianggap melakukan deforestasi dalam EUDR,” ujar Eddy dalam konferensi pers di Jakarta, disadur dari ANTARA, Selasa, 28 Oktober 2025.
Larangan pembukaan lahan baru ini juga telah diperkuat melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Meski perusahaan besar siap, Eddy menekankan bahwa masalah utama ada pada petani, yang belum memiliki regulasi ketat serupa.
“EUDR ini satu paket. Bukan hanya perusahaan, tapi juga petani harus patuh. Mereka harus masuk dalam sistem traceability dan due diligence,” kata Eddy.
Pemerintah tengah berupaya melakukan negosiasi dengan Uni Eropa agar implementasi EUDR tidak membebani petani, termasuk melalui pengurusan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) dan penguatan sistem pelacakan asal produk sawit.
Baca Juga:IKN Jadi Pertimbangan, PPU Libatkan Petani Lokal dalam Program Makan Bergizi Gratis
Eddy meyakini jika masa transisi satu tahun diberikan, Indonesia memiliki peluang untuk memperbaiki sistem dan memastikan kepatuhan.
“Satu tahun itu cukup. Perusahaan bisa siap dalam enam bulan, dan petani punya waktu untuk berbenah. Kalau skemanya seperti itu, ekspor ke Eropa seharusnya masih bisa berjalan,” ujarnya.
Uni Eropa memang menjadi salah satu pasar ekspor CPO Indonesia, meskipun pangsa pasarnya lebih kecil dibanding India, China, dan Pakistan.
Data Gapki menunjukkan ekspor sawit ke Eropa terus menurun sejak 2018, dari 5,7 juta ton menjadi 4,1 juta ton pada 2023, dan 3,3 juta ton pada 2024.