Samarinda Dorong Payung Hukum untuk Atasi TBC dan HIV/AIDS

Indonesia sendiri menempati posisi kedua dengan jumlah kasus TBC terbanyak di dunia setelah India, dan kondisi ini juga tercermin di Samarinda.

Denada S Putri
Sabtu, 01 November 2025 | 16:22 WIB
Samarinda Dorong Payung Hukum untuk Atasi TBC dan HIV/AIDS
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Samarinda, Nata Siswanto. [kaltimtoday.co]
Baca 10 detik
  • Pemkot Samarinda tengah menyusun Raperda Penanggulangan TBC dan HIV/AIDS bersama DPRD untuk memperkuat dasar hukum dan sinergi lintas sektor dalam penanganan penyakit menular.

  • Dinkes Samarinda menilai peningkatan kasus TBC mencerminkan deteksi dini yang makin masif, namun kepatuhan pasien menjalani pengobatan hingga tuntas masih menjadi tantangan utama.

  • Upaya penanggulangan dilakukan secara kolaboratif, melibatkan OPD lain, klinik swasta, dan edukasi masyarakat guna memperkuat pencegahan serta perbaikan lingkungan bagi penderita.

SuaraKaltim.id - Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda berupaya memperkuat sistem penanggulangan penyakit menular dengan menyiapkan dasar hukum khusus untuk menghadapinya.

Melalui Dinas Kesehatan (Dinkes), Pemkot kini tengah menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penanggulangan Tuberkulosis (TBC) dan HIV/AIDS bersama Panitia Khusus (Pansus) IV DPRD Samarinda.

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Samarinda, Nata Siswanto, menjelaskan bahwa pembahasan bersama DPRD menjadi langkah strategis untuk memperkuat sinergi dalam menghadapi dua penyakit yang telah menjadi prioritas nasional.

“Pertemuan ini kami lakukan untuk memberikan masukan agar penanggulangan TBC dan HIV/AIDS di Samarinda bisa lebih optimal. Karena dua penyakit ini sudah menjadi prioritas nasional,” jelasnya, disadur dari kaltimtoday.co--Jaringan Suara.com, Sabtu, 1 November 2025.

Baca Juga:Pasca Longsor, Terowongan Samarinda Diperkuat 72 Meter di Dua Titik Kritis

Indonesia sendiri menempati posisi kedua dengan jumlah kasus TBC terbanyak di dunia setelah India, dan kondisi ini juga tercermin di Samarinda.

Meski angka kasus terbilang tinggi, Nata menilai hal itu merupakan indikasi positif dari deteksi dini yang semakin masif.

“Semakin banyak kita melakukan screening, semakin banyak pula kasus yang ditemukan. Tapi itu justru hal baik, karena artinya sistem deteksi kita berjalan,” terang Nata.

Tantangan lain yang masih dihadapi, lanjutnya, adalah kepatuhan pasien dalam menyelesaikan pengobatan TBC yang memerlukan waktu minimal enam bulan.

“Banyak yang berhenti di tengah jalan. Padahal kalau pengobatan dijalani sampai selesai, TBC bisa sembuh total. Pemerintah bahkan menyediakan obat gratis sampai tuntas,” tegasnya.

Baca Juga:Minim Transparansi, Warga Samarinda Kecewa Proses Ganti Rugi Proyek Terowongan

Selain penanganan medis, Dinkes Samarinda menggalang kerja sama dengan berbagai organisasi perangkat daerah (OPD) untuk membantu dari sisi lingkungan dan sosial.

Salah satunya dengan Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim) untuk memastikan penderita TBC memiliki rumah dengan ventilasi udara yang memadai.

“Rumah penderita TBC perlu sirkulasi udara yang baik. Jadi kami berkoordinasi dengan Dinas Perkim agar rumah dengan ventilasi buruk bisa dibantu melalui program perbaikan atau bedah rumah,” bebernya.

Dinkes juga melibatkan klinik swasta serta mendorong masyarakat memanfaatkan layanan Cek Kesehatan Gratis (CKG) guna memperluas jangkauan deteksi dini.

“Kalau merasa ada gejala atau ada anggota keluarga yang positif TBC, segera periksa ke puskesmas atau rumah sakit. Jangan menunggu,” imbaunya.

Sementara untuk HIV/AIDS, mayoritas kasus di Samarinda masih disebabkan oleh perilaku berisiko tinggi, seperti penggunaan jarum suntik bersama dan hubungan sesama jenis.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini