-
Banyak perusahaan di sektor tambang, sawit, dan kehutanan dinilai hanya melakukan “window dressing” CSR, karena program yang dijalankan tidak transparan, tidak terukur, dan tidak memberikan dampak nyata bagi masyarakat, terutama kelompok rentan.
-
Standar ESG dan SDGs yang seharusnya menjadi acuan tata kelola CSR jarang diterapkan, sehingga pengawasan, perencanaan, dan penggunaan anggaran kerap tidak tepat sasaran, ditambah lemahnya akses masyarakat terhadap dokumen CSR.
-
Pemerintah daerah didesak memperketat pengawasan terhadap pelaksanaan PP 47/2012, sementara masyarakat diminta aktif melaporkan dugaan penyimpangan karena banyak perusahaan belum mematuhi prinsip dasar tata kelola CSR, termasuk akuntabilitas dan efektivitas program.
SuaraKaltim.id - Kritik terhadap pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) kembali menguat.
Sejumlah organisasi masyarakat adat dan kelompok pemuda menilai, banyak perusahaan tambang, perkebunan sawit, hingga sektor kehutanan belum memenuhi kewajiban sosial mereka secara nyata.
Program yang diharapkan menjadi instrumen pengurangan dampak industri malah dinilai penuh formalitas, minim akuntabilitas, dan tidak memberikan manfaat berarti bagi warga sekitar operasi perusahaan.
Khalif Sardi dari Pemuda Adat Jahab menilai kualitas CSR perusahaan masih jauh dari harapan.
Baca Juga:Truk Sawit di Kaltim Wajib Pakai Plat KT untuk Tingkatkan Pendapatan Daerah
Ia menyoroti praktik yang menurutnya hanya menampilkan kepatuhan semu tanpa menyentuh persoalan mendasar masyarakat.
"Yang terjadi di lapangan adalah window dressing CSR. CSR ini tidak berdampak, tidak terukur, tidak berkelanjutan dan tata kelolanya tidak transparan," kata kepada SuaraKaltim.id, Selasa, 25 Desember 2025.
Ia menekankan bahwa perusahaan sebenarnya sudah memiliki rujukan jelas melalui standar Environmental Social Governance (ESG) dan Sustainable Development Goals (SDGs).
Namun, pedoman tersebut justru jarang dijadikan dasar perencanaan.
"Pembangunan dan tata kelola CSR seharusnya berdampak terukur, berkelanjutan serta transparan agar bisa memitigasi konflik antara pelaku usaha dan masyarakat," ujarnya.
Baca Juga:Gubernur Kaltim Janji Insentif Guru Non ASN Berlanjut hingga 2030
Menurut Khalif, kondisi sosial di beberapa desa sekitar tambang menunjukkan ketidakefektifan program.
Kelompok rentan seperti masyarakat miskin dan komunitas adat belum tersentuh bantuan, padahal mereka yang paling membutuhkan.
"Seharusnya CSR ini menjadi solusi. Bukan menciptakan konflik atau menambah masalah yang tidak dilaporkan ke pemerintah," katanya.
Ia juga menilai kehadiran industri ekstraktif di Kaltim seharusnya diikuti komitmen untuk menjaga budaya lokal dan keberlanjutan lingkungan.
Namun banyak perusahaan dinilai masih mengabaikannya.
"CSR itu harusnya meningkatkan ekonomi, budaya, dan lingkungan masyarakat. Tapi banyak perusahaan yang tidak menjalankan itu," jelasnya.