Scroll untuk membaca artikel
Denada S Putri
Kamis, 30 September 2021 | 14:22 WIB
Ilustrasi kongres PKI. Di mana saat itu ada seorang bangsawan Kukar yang memilih menjadi kader PKI. [Istimewa]

SuaraKaltim.id - Sebuah sejarah kelam Bumi Pertiwi pernah terjadi di 1965 lalu. Pada tahun tersebut, hampir sebagian besar wilayah di Tanah Air mengalami kerusuhan yang terus membekas hingga kini.

Tak terkecuali di Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim). Terdapat sebuah tugu pernah kokoh berdiri di wilayah Sungai Pinang dengan lambang alat pertukangan dan pertanian yang menjadi salah satu lambang partai politik (Parpol).

Tugu itu sudah dihancurkan masyarakat setempat. Massa yang emosi melampiaskan amarahnya ketika mendapatkan kabar bahwa partai itu diduga merupakan tempat para orang-orang yang tidak beragama dan anti Tuhan. Bahkan partai tersebut, dituding sebagai dalang dari pembunuhan sadis para 6 Jendral, dan 1 Perwira, tanggal 1 Oktober 1965.

Nama parpol itu ialah Partai Komunis Indonesia (PKI). Di Samarinda sendiri, partai itu pernah memiliki seorang pemimpin yang memiliki darah keturunan Arab, sekaligus seorang bangsawan dari Kutai Kertanegara (Kukar). Sosok itu bernama Sayid Fachrul Baraqbah.

Baca Juga: Sejarah Peristiwa Gerakan 30 September 1965 dalam Berbagai Versi

Di 1945 sampai 1949, Sayid Fachrul bergabung dalam Laskar Gerilyawan Pejuang Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI). Ketika terjadi pertempuran di Sanga-Sanga, dirinya juga berkoordinasi dengan gerilyawan Samarinda.

Pada saat para pasukan Indonesia menyingkir ke pedalaman, Sayid Fachrul menyingkir ke kota Surabaya, Jawa Timur menggunakan perahu.

Tahun 1948 di Jawa Timur, terjadi peristiwa Madiun, saat itu Fachrul bergabung dalam Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin. Di situlah ia mulai berkenalan dengan yang namanya PKI. Walaupun sebenarnya, ia tak memahami secara mendalam terhadap ideologi PKI.

Secara nasional PKI berhasil dihidupkan Kembali oleh DN Aidit, Fachrul pun kembali ke Samarinda dan mendirikan PKI Committee Daerah Besar (CDB) di Bumi Mulawarman. Mulanya, ia sebagai sekretaris, sebelum menduduki jabatan Ketua PKI.

“Tahun 1955 PKI untuk tingkat nasional atau legislatif DPR-RI, dapat mengutus satu kursi. Saat itu Provinsi Kaltim belum berdiri. Saat provinsi Kaltim berdiri tahun 1957, di tahun 1958 ada pemilihan lokal untuk memilih DPRD dan di situ PKI dapat 3 kursi. Suara PKI urutan keempat di Kaltim. Fachrul juga mendapatkan posisi Wakil Ketua DPRD,” ucap Sejarawan Kaltim, Muhammad Sarip saat ditemui, Rabu (29/9/2021).

Baca Juga: Soal Tudingan Gatot Nurmantyo, Ketum PKB: Sudahlah, PKI Masa Lalu!

Kekuatan utama PKI di Kaltim para kaum buruh minyak, dan diperkuat dengan kedatangan Hario Kecik

Saat itu, kekuatan utama PKI di Kaltim adalah kaum buruh minyak. PKI juga mendirikan sebuah organisasi sayap yaitu, Persatuan Buruh Minyak (Perbum). Di situ, posisi PKI sangat kuat karena kedatangan panglima Daerah Militer IX Mulawarman, yaitu Kolonel Soehario Padmodiwirio atau yang disapa Hario Kecik.

“Soehario ditunjuk sebagai Pimpinan Front Nasional yang merupakan sebuah lembaga yang dibentuk pada tahun 1961 oleh Presiden Sukarno,” jelas pria yang kerap disapa Bang Sarip itu.

Fachrul pun membawa nama PKI Kaltim, dan tidak mengherankan bagi Sarip sooal hal itu. Pasalnya, Hario Kecik kala itu disebut bersimpati kepada PKI. Kemudian, Front Nasional makin beraroma komunis tatkala Nyonya Sutijo dinobatkan sebagai wakil sekretaris.

Sutijo merupakan pimpinan provinsi organisasi perempuan yang mempunyai hubungan dengan PKI Gerwani. Hal ini juga yang membuat koalisi buruh di Front Nasional terbelah. Bahkan PKI dianggap selalu menyudutkan buruh-buruh muslim. 

Kendati itu, pengaruh Front Nasional bersama PKI dan Perbum sangatlah kuat di Balikpapan. Mereka bergerak di 1961 berawal dari Indonesia yang saat itu memutus hubungan diplomatik dengan Belanda, lantaran perebutan Irian Barat.

Konstelasi membuka peluang merebut perusahaan minyak Balikpapan, yaitu Bataafsche Petroleum Maatschappij atau BPM, yang dimiliki oleh pemodal Inggris dan Belanda.

Ketegangan antardua negara tersebut pun membuat Perbum mengambil sikap. Organisasi sayap PKI tersebut memaksa pemerintah untuk saham Belanda di BPM. Ketika perseteruan Inggris dan Belanda, orang-orang Belanda yang berada di Balikpapan kembali ke negara mereka, dan posisi mereka digantikan orang-orang dari Inggris, Amerika, serta Perancis. BPM pun di bawah penguasaan Shell, dan pemegang saham BPM adalah Inggris dan Belanda.

Di 1963, Front Nasional bersitegang dengan Shell. Semangat untuk melakukan nasionalisasi perusahaan asing terus menggebu-gebu usai Presiden Soekarno membuka konfrontasi dengan Inggris. Kala itu, Soekarno menolak pendirian Malaysia yang disebut boneka Amerika dan Inggris.

Kemudian, Hario Kecik dan Fachrul Baraqbah mengatur strategi dalam menentang penanaman modal asing di tanah air. Setelah rencana itu selesai disusun, mereka memboikot seluruh orang-orang Inggris yang bekerja untuk Shell di Balikpapan.

Sebanyak 5 ribu buruh minyak terlibat dalam pemboikotan tersebut. Mulai dari sopir hinGga staf, tidak berbicara kepada orang Inggris. Perbum juga berinisiatif membuat sebuah terror

Sementara Hario Kecik membuat peraturan melarang penggunaan bahasa Inggris. Dan mengharuskan bahasa Indonesia untuk mengawasi seluruh aktivitas orang asing.

Akhirnya Shell berhasil diambil alih oleh koalisi buruh yang didominasi Perbum. Aset-aset perusahaan dikuasai dengan alasan menyelamatkan produksi minyak untuk kepentingan Nasional.

Perbum juga menguasai salah satu toko serba ada bernama Sifo milik Shell di Balikpapan. Mereka menyatakan menunggu kebijakan dari Presiden Sukarno. Kelak pemerintah Indonesia menasionalisasi Shell yang sekarang menjadi Pertamina.

Dua tahun kemudian, kekuatan PKI, Perbum, serta Front Nasional mulai pudar. Tatkala Kolonel Suhario yang memiliki kedekatan dengan Presiden Soekarno disekolahkan ke Uni Soviet.

Sementara di Jakarta dan Jogjakarta, peristiwa 30 September 1965 dihari ini tepat 56 tahun lalu, mengubah semuanya. Penculikan para Jendral Angkatan darat yang berujung pada pembersihan para petinggi PKI serta organisasi sayap mereka dituntaskan.

Seluruh pengurus partai PKI di Kaltim, kala itu langsung diringkus oleh aparat keamanan. Tak terkecuali Ketua PKI yang saat itu dipimpin, Sayid Fachrul Baraqbah dan membuat karier politiknya harus berakhir.

Kontributor: Apriskian Tauda Parulian

Load More