Scroll untuk membaca artikel
Denada S Putri
Senin, 13 Desember 2021 | 15:59 WIB
Ilustrasi pelecehan seksual terhadap jurnalis perempuan. [Suara.com/Iqbal Asaputro]

SuaraKaltim.id - Rea terduduk di tempat yang teduh, saat terik mentari masih terasa menyengat di Kota Balikpapan. Sebagai jurnalis perempuan, Rea sesekali membuka gawai seluler yang menjadi alat kerjanya.

Tetiba gawainya berdering. Sebuah panggilan video call (VC) melalui media sosial (medsos) Instagram. Dia tidak mengetahui pasti orang yang meneleponnya.

Penasaran ingin mengetahui asal panggilan video, Rea pun mengangkatnya tanpa diketahui identitas orang yang menghubunginya.

"Iya mas, pada saat si pelaku ini menelepon dia mengucapkan Assalamualaikum, kemudian saya jawab dengan santun juga, baru habis itu dimatikan," ungkapnya saat dihubungi melalui sambungan seluler. Kamis (9/12/2021) lalu.

Baca Juga: Pilu Gadis Malang Dicabuli Ayah Tiri, Diancam Menceraikan Sang Ibu

November lalu, orang yang tak diketahui identitasnya itu kembali meneleponnya lagi. Sama seperti sebelumnya, dia mengucapkan salam terlebih dahulu.

Rea pun menjawab senada, dengan intonasi yang juga santun.

“Dia telpon saya lagi dengan cara yang sama, seperti biasa dia mengucapkan Assalamualaikum terlebih dahulu, saya jawab lagi dengan santun. Tiba-tiba setelah itu si pelaku langsung menunjukkan alat kelaminnya," jelasnya.

"Pas dia menunjukkan alat kelaminnya, saya langsung bilang 'Saya laporkan polisi nih' enggak lama langsung dimatiin dia. Terus lewat chat dia bilang 'jangan dilaporin polisi dong’," sambungnya.

Setelah mengalami pelecehan seksual, tak lama kemudian dia pun langsung melaporkan kejadian tersebuta kepada pihak yang berwajib. Lalu, kasus tersebut dilanjutkan oleh Tindak Pidana Tertentu (Tipiter).

Baca Juga: Penemuan Mayat Perempuan di Kamar Kos Cipare Serang, Suami dan Pemilik Kos Diperiksa

"Saya disuruh nunggu seminggu sama pihak Tipiter, tapi nggak ada dihubungi pihak tipiter. Malah setelah menunggu seminggu itu, ternyata kasus saya diambil alih oleh Polda Kaltim," ujarnya.

Dia menambahkan yang menangkap pelaku pelecehan itu dari Polda Kaltim, dan yang gerak cepat itu mereka. Bahkan Polda Kaltim sudah merilis kasus tersebut.

"Sudah dirilis sama Polda Kaltim, dari hasil rilis ternyata pelaku ini menyandang Tunagrahita," bebernya.

Dia sudah menyadari, pelaku tersebut berbeda dari orang kebanyakan. Lantaran teman-temannya yang diikuti pelaku di Instagram merupakan para penyandang disabilitas.

"Saya sudah periksa following yang diikuti pelaku, ternyata rata-rata yang diikuti teman dari penyandang disabilitas, jadi saya sudah paham," ungkapnya.

Dia pun berharap agar kejadian seperti ini tak dialami kalangan wanita-wanita lain. Dia bahkan mengaku bersyukur karena penanganan kasus tersebut terbilang cepat.

"Semoga lah ini tidak terjadi (lagi). Kasian semisalnya ada wanita yang mengalami hal ini kan traumanya sangat mendalam sekali," tandasnya.

Kesembuhan Korban Pelecehan Seksual Menurut Psikolog

Psikolog Asal Samarinda, Ayunda Rahmadani mengatakan dampak yang terajadi pada korban pelecehan seksual melalui media sosial yang pertama adalah reaksi terkejut. Pasalnya, dia menilai bahwa korban pasti belum pernah mengalami hal seperti ini.

"Tingkatannya dampak pelecehan seksual mulai terkejut, tidak percaya, kemudian muncul marah, kesal, dan tingkatan yang paling parah adalah rasa trauma," ungkapnya saat ditemui di ruang kerjanya.

Dia menjelaskan ketika korban pelecehan seksual mengalami trauma, biasanya akan dilakukan screening dulu apakah trauma ini berat atau sedang.

Ketika sudah diketahui trauma yang dialami korban pelecehan seksual, baru nantinya akan ada penangan yang lebih.

"Dampak trauma itu memang bisa bertahun-tahun kalau dia dibiarkan, makanya ada diangnosa PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). Jadi memang kalau traumatik ini tidak ditangani maka akan ada gangguan yang lebih bahaya," jelasnya.

Disinggung mengenai pelaku yang mengidap gangguan mental Tunagrahita, dia menambahkan jika memang pelaku mengidap Tunagrahita, dia tidak akan bisa berpikir konsekuensi akan perbuatannya.

"Ketika memang dia (pelaku) didiagnosa mengidap Tunagrahita, dia ini tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tapi itu tidak bisa juga di follow up ke kepolisian, karena memang kan pelaku ini tidak bertanggung jawab akan perbuatannya. Tapi kita lihat lagi, tunagrahita level yang seberapa," bebernya.

Kendati itu, pendampingi orang terdekat terhadap pelaku pelecehan seksual yang mengidap keterbelakangan mental sangat diperlukan.

Pengamat Hukum Minta Segera RUU PKS Disahkan

Menanggapi permasalahan maraknya pelecehan seksual yang terjadi saat ini, Pengamat Hukum serta dosen dari Universitas 17 Agustus 1945, Isnawati mengatakan, Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RRU TPKS) harusnya segera disahkan oleh DPR RI.

"RUU TPKS ini sudah kan mengalami beberapa kali revisi dan saya selalu memantau itu. Dan itu menurut saya itu sudah cukup bagus. Saya rasa harus segera disahkan, paling tidak tahun ini bisa menjadi regulasi yang sudah di terapkan di Indonesia,” ungkapnya kepada Suarakaltim.id.

“Walaupun nantinya pada saat disahkan regulasi RUU TPKS terlahir belum sempurna tetapi sudah ada yang mengatur, tapi nanti kedepannya kan bisa di revisi kembali,” imbuhnya.

Dalam perlindungan payung hukum yang ada di RUU TPKS, dia menilai, itu semua sudah cukup bagus, dan sudah mencerminkan substansi atau aspek. Bahkan dasar hukum RUU TPKS sudah cukup kuat untuk segera disahkan.

“Jangan sudah banyak kejadian kekerasan seksual baru kita sedia payung hukumnya, harus segera dijadikan undang-undang supaya didalam penegakan mengerti, jangan sampai kasus seperti terus terjadi lagi,” jelasnya.

Selain itu, dia juga menambahkan, kedepannya DPR RI juga harus membentuk lembaga-lembaga organisasi yang melindungi korban pelecehan seksual.

“Ini salah satu juga yang harus dipikirkan DPR RI untuk membantu lembag-lembaga organisasi yang bisa membantu Komnas HAM dalam menangani kasus pelecehan seksual terhadap perempuan,” katanya.

Sementara itu, Kepala Seksi (Kasi) Perlindungan Perempuan Dinas Kependudukan, Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim, Fachmi Rozano mengatakan koordinasi antara pemprov dengan pemerintah pusat dalam menangani kasus pelecehan seksual terbilang baik.

Bahkan ia menambahkan, Pemprov Kaltim melalui DKP3A Kaltim sudah membuat Unit Pelaksana Teknis Terpadu (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).

“UPTD PPA ini sudah terbentuk di 6 Kabupaten/Kota, nah mereka ini yang sudah ditugaskan dalam penangan secara teknis untuk perlindungan perempuan dan anak,” ungkapnya.

Ia menjelaskan dalam tugasnya DKP3A sudah melakukan sosialisasi ke masyarakat, advokasi kepada masyarakat yang mengalami kekerasan dan pelecehan.

Disinggung mengenai RUU TPKS, ia menambahkan pihaknya masih enggan berkomentar lantaran belum mendapatkan arahan terkait rancangan tersebut.

“Untuk RUU TPKS ini kan masih rancangan, jadi kami belum bisa berkomentar banyak apakah kita mendukung. Tapi kita berharapnya sih itu lebih kepada penangan perempuan agar terlindungi. Namun ketika RUU sudah disahkan baru kami bisa berkomentar,” pungkasnya.

Kontributor: Apriskian Tauda Parulian

Load More