SuaraKaltim.id - Pungutan ekspor Crude Palm Oil (CPO) yang dihapus pemerintah membuka harapan bagi petani kelapa sawit di Kalimantan Timur (Kaltim). Kebijakan itu sangat dirasakan Arbani, petani kelapa sawit di Long Kali, Kabupaten Paser.
Semenjak kebijakan itu keluar, harga tandan buah segar (TBS) ikut naik. Terkini untuk level petani per kilogram dihargai Rp 1.000 sementara untuk level pabrik bisa mencapai Rp 1.400 per kilogram.
"Ya, kita sebagai petani sangat senang lah TBS bisa naik. Bisa bayar tukang panen hingga transportasi. Banyak yang tidak panen kemarin kita pas sebelum dihapus pungutan ekspor," terang Arbani, Kamis (21/7/2022).
Memang cukup membuat petani menjerit apabila pungutan ekspor itu tidak dihapus. Pasalnya diakui Arbani saat itu harganya benar-benar anjlok. Harga level petani hanya Rp 600 per kilogram.
Baca Juga: Upaya Dongkrak Harga Sawit, Petani Minta Bea Keluar dan Pajak Ekspor Dievaluasi
Ia kembali mengakui, harga TBS saat ini cukup menggairahkan namun belum memuaskan. Lantaran, sampai saat ini pemerintah daerah dinilai tidak menjalankan surat yang dikeluarkan Menteri Pertanian (Mentan) pada 30 Juni kemarin. Surat itu berisi tentang ketentuan pabrik kelapa sawit untuk membeli TBS dengan harga minimal Rp 1.600 per kilogram.
"Faktanya tidak dijalankan pemerintah daerah sehingga perusahaan seenaknya saja. Sampai sekarang," ungkapnya.
Padahal, surat itu dikeluarkan 15 hari sebelum pungutan ekspor dihapus pemerintah. Hal itulah yang membuatnya dan petani sawit lainnya menggelar aksi di Ibu Kota Nusantara (IKN) pada 16 Juli 2022 lalu.
Saat aksi tersebut, para petani berharap ada ketegasan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim hingga tingkat kabupaten/kota.
Terutama, mengawal perusahaan agar membeli sawit dengan harga seperti yang terdapat dalam surat yang dikeluarkan Mentan, Syahrul Yasin Limpo.
Baca Juga: Kasus Korupsi Replanting Tanaman Sawit, Kejati Sita Uang Rp13 Miliar
"Andaikan dijalankan kami tidak seperti ini. Makanya kami aksi di IKN kemarin tanggal 16 Juli. Seharusnya Rp.1.600 per kilogram untuk level pabrik," tambahnya.
Ia pun bersama petani lainnya akan mendesak pemerintah daerah untuk menjalankan surat tersebut. Mengingat petani mesti memikirkan biaya operasional panen.
Dalam setiap panennya, para petani mesti memberi upah pekerja Rp 300 ribu per ton. Belum termasuk harga bahan pokok seperti pupuk, pestisida hingga BBM.
"Kami merasa dirugikan. Kami mau menuntut ke pemerintah daerah. Kalau tidak dijalankan berapa kerugian kami," sambungnya.
Hal serupa juga dirasakan Asbudi, petani sawit asal Kutai Timur (Kutim). Sejauh ini ia mendapati alasan pemerintah bahwa ekspor belum lancar.
Padahal faktanya, BTS hilir mudik ke pabrik sawit. Petani yang memiliki lahan sawit 38 hektar itu meminta tindakan tegas dari pemerintah daerah kepada pabrik yang nakal.
Berita Terkait
Tag
Terpopuler
- Selamat Tinggal, Kabar Tak Sedap dari Elkan Baggott
- 1 Detik Jay Idzes Gabung Sassuolo Langsung Bikin Rekor Gila!
- Andre Rosiade Mau Bareskrim Periksa Shin Tae-yong Buntut Tuduhan Pratama Arhan Pemain Titipan
- Penantang Kawasaki KLX dari Suzuki Versi Jalanan, Fitur Canggih Harga Melongo
- 5 Rekomendasi Mobil Bekas Keluarga dengan Sensasi Alphard: Mulai Rp50 Juta, Bikin Naik Kelas
Pilihan
-
Patrick Kluivert Gelar Pertemuan Rahasia dengan Legenda Belanda Jelang Ronde 4
-
Tok! Carlo Ancelotti Dibui 1 Tahun: Terbukti Gelapkan Pajak Rp6,7 M
-
Sejarah Nama Kompetisi Liga Indonesia: Dari Perserikatan Kini Super League
-
Dear Pak Prabowo: Penerimaan Loyo Utang Kian Jumbo
-
Eks Petinggi AFF Kritik Strategi Erick Thohir, Naturalisasi Jadi Bom Waktu untuk Timnas Indonesia
Terkini
-
Ibu Rumah Tangga Jadi Motor Ekonomi: Semangat UMKM di Festival PKK 2025
-
Di Balik Rakernas PKK, Ada Perjuangan Ribuan Kader dari Pelosok Negeri
-
Dari Samarinda ke IKN: Kaltim Jawab Kepercayaan Pusat Lewat Rakernas PKK
-
Dekat IKN, Desa Giri Mukti Tunjukkan Potensi Jadi Sentra Hortikultura Kaltim
-
Pemprov Kaltim Dorong Hilirisasi Batu Bara Demi Ekonomi Berkelanjutan