"Edukasi ini yang harus masif dilakukan. Di posyandu kami ada 2 dapat Pemberian Makanan Tambahan (PMT),” sambungnya.
Warga Kelurahan Guntung, Ariani 46 tahun, memiliki putra yang kini berusia 3 tahun. Di awal putrinya didiagnosis stunting karena tinggi badan tak memenuhi standar dan sering sakit. Bermukim di wilayah pesisir, Ariani mengaku rutin mengkonsumsi ikan begitupu dengan warga sekitar.
Hanya saja, masih banyak ibu di sekitar rumahnya terbatas untuk memenuhi kebutuhan gizi putra putri mereka karena alasan ekonomi. Bahkan, masih didapati ibu yang memberi Susu Kental Manis ke bayinya karena tak mampu beli susu formula.
“Memang kesadaran masih rendah sih. Banyak juga anaknya dikasih makan ciki-ciki (snack-red),” lanjutnya.
Sementara itu, wilayah Kelurahan Berebas Tengah, kondisinya sedikit berbeda ketimbang Kelurahan tetangganya Berbas Pantai. Tingkat prevalansi stunting di Kelurahan Berebas Tengah 18,2 persen sedangkan di Berbas Pantai yang mencapai 29 persen (tertinggi di Bontang).
Naniyati, Ketua Posyandu Tunas Muda, Kelurahan Berebas Tengah menuturkan posyandunya menaungi 9 RT dengan sasaran balita sebanyak 85 anak. Tingkat partisipasi ibu di sana cukup tinggi, hampir 90 persen rajin ke posyandu. Pun kader juga aktif turun ‘jemput bola’ ke rumah warga yang absen ke posyandu.
“Paling sekitar 10-an aja sih, tapi kita datangi rumah mereka,” sebutnya.
Dalam daftar Posyandu Tunas Muda ada 2 anak yang tergolong stunting. Lagi-lagi karena masalah sosial.
“Yah pisah orang tuanya, jadi gak terurus anaknya. Orang tuanya harus kerja,” timpalnya.
Baca Juga: Hilang Kendali saat Isi Angin, Minibus Tabrak Pengunjung Bengkel di Bontang Utara
Imbas Kemiskinan di Pesisir
Akademisi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman Nurul Afiah menerangkan fenomena angka stunting tinggi di lingkungan pesisir telah banyak tertuang dalam sejumlah literatur karena faktor ekonomi.
Kata Nurul, tingkat konsumsi ikan di masyarakat pesisir pasti tinggi karena ketersediaannya melimpah. Tetapi, banyak dari mereka memilih untuk mengkonsumsi ikan dengan kualitas dan gizi yang rendah.
Sebab, ikan berkualitas baik memiliki nilai jual tinggi sehingga masyarakat lebih memilih untuk menjualnya demi memenuhi kebutuhan hari-hari.
“Tetapi ini butuh kajian mendalam, apakah masyarakat di sana juga demikian,” terang dosen Gizi Kesehatan Masyarakat ini.
Nurul melanjutkan, kebiasaan masyarakat rutin mengkonsumsi ikan tak menjamin anak-anak mereka mendapat gizi yang cukup.
Berita Terkait
Terpopuler
- Lagi Jadi Omongan, Berapa Penghasilan Edi Sound Si Penemu Sound Horeg?
- 5 Pemain Timnas Indonesia yang Bakal Tampil di Kasta Tertinggi Eropa Musim 2025/2026
- Kisah Pilu Dokter THT Lulusan UI dan Singapura Tinggal di Kolong Jembatan Demak
- Brandon Scheunemann Jadi Pemain Paling Unik di Timnas Indonesia U-23, Masa Depan Timnas Senior
- Orang Aceh Ada di Logo Kota Salem, Gubernur Aceh Kirim Surat ke Amerika Serikat
Pilihan
-
Harga Emas Antam Terjun Bebas Hari Ini
-
Gaduh Pemblokiran Rekening, PPATK Ngotot Dalih Melindungi Nasabah
-
Siapa Ivan Yustiavandana? Kepala PPATK Disorot usai Lembaganya Blokir Rekening Nganggur
-
Siapa Ratu Tisha? Didorong Jadi Ketum PSSI Pasca Kegagalan Timnas U-23
-
6 Rekomendasi HP dengan Kamera Canggih untuk Konten Kreator 2025
Terkini
-
IKN Dibuka Lebar untuk Dunia: Basuki Tegaskan Komitmen Investasi Sehat dan Berkelanjutan
-
BMKG Ingatkan Kaltim: Kemarau Basah Bisa Picu Karhutla dan Krisis Air
-
Seno Aji Tegaskan FKDM sebagai Mitra Strategis Jaga Keamanan Wilayah
-
Revisi UU IKN Mengemuka, DPRD Kaltim: Jangan Gegabah Ubah Aturan!
-
Ketika Elpiji Harus Diantar dengan Ketinting: Cerita Distribusi Energi di Mahulu