Scroll untuk membaca artikel
Denada S Putri
Kamis, 05 Juni 2025 | 12:41 WIB
Ilustrasi banjir Samarinda 2025. [Ist]

SuaraKaltim.id - Kritik terhadap respons Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda dalam menangani banjir kembali mencuat, menyusul banjir besar yang melanda kota tersebut di akhir Mei 2025.

Setidaknya 24 titik terendam air, bahkan terjadi longsor di beberapa wilayah.

Pemerintah kota menyebutnya sebagai kejadian luar biasa, namun kalangan akademisi menilai hal itu seharusnya bisa diantisipasi.

Esti Handayani Hardi, pengamat lingkungan dan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Mulawarman (Unmul), menilai pemerintah seharusnya lebih sigap menghadapi potensi bencana yang berulang.

Baca Juga: Hotel Sekitar Big Mall Samarinda Pastikan Tak Ada Korban dalam Insiden Kebakaran

“Menanggapi terkait anomali, sebenarnya sudah bisa dilakukan tindakan preventif jauh-jauh hari,” tegas Esti, saat dihubungi, Kamis, 5 Juni 2025.

Menurutnya, dengan curah hujan tinggi dan potensi longsor yang hampir selalu mengancam di waktu-waktu tertentu, seharusnya Pemkot sudah memiliki peta kerentanan wilayah.

Data dan riset yang diperlukan pun sebenarnya telah tersedia.

Ilustrasi kondisi banjir di beberapa titik Samarinda. Banjir besar kerap terjadi di Kota Tepian. Andi Harun menyebut bencana banjir di Samarinda sebagai bentuk kehendak alam yang tidak sepenuhnya bisa diselesaikan dengan pendekatan teknis. Namun, ia meyakinkan bahwa arah kebijakan penanganan banjir tetap dijalankan dengan serius. Sementara itu, Wagub Kaltim Seno Aji mengusulkan pengerukan Sungai Mahakam sebagai salah satu solusi struktural untuk menanggulangi banjir. Usulan ini menggarisbawahi bahwa penanganan banjir tidak bisa dilakukan secara sektoral, melainkan butuh sinergi lintas level pemerintahan. [kaltimtoday.co]

“Seharusnya Pemkot bekerja sama dengan ahli di bidangnya serta dengan periset yang ada di perguruan tinggi. Karena, untuk data dan step awal penelitian sudah dimiliki,” ucapnya.

Data dari BMKG menunjukkan intensitas hujan saat itu mencapai 50–85 mm per jam.

Baca Juga: 100 Siswa Pertama, 1 Kota, 1 Visi: Samarinda dan Mimpi Sekolah Rakyat

Kondisi ini diperparah dengan fenomena backwater dari Sungai Mahakam, di mana aliran air dari hulu tertahan karena permukaan air di muara lebih tinggi akibat pasang laut.

Akibatnya, air meluap ke daratan, terutama di wilayah rendah.

Banjir merendam beberapa kecamatan seperti Samarinda Utara, Palaran, Sambutan, dan Samarinda Ilir, dengan ketinggian air mencapai 50 hingga 100 cm.

Tak hanya itu, longsor juga terjadi di Palaran, dipicu oleh kondisi tanah yang jenuh air.

Meski banjir menyebabkan banyak gangguan aktivitas masyarakat, Wali Kota Samarinda Andi Harun menilai kejadian tersebut bukan kegagalan program penanggulangan banjir, melainkan dampak dari cuaca ekstrem tahunan.

“Peristiwa 12 Mei itu adalah anomali, siklus tahunan. Maka tidak bisa dari kejadian itu kita simpulkan bahwa program penanggulangan banjir kita kurang berhasil. Apalagi ini masih dalam proses,” jelas Andi Harun.

Load More