SuaraKaltim.id - Dalam era serbacepat digital, informasi yang menyesatkan bisa menyebar jauh lebih cepat dibandingkan kebenaran.
Lebih dari sekadar salah paham, hoaks di Indonesia telah terbukti menjadi pemicu konflik sosial, ekonomi, bahkan kerusuhan besar.
Hal itu ditegaskan oleh Ubaidillah, peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB) BRIN dalam sebuah diskusi publik bertajuk “Sosialisasi Konten Berdasarkan Riset: Menghindari Hoaks dan Disinformasi” di Samarinda, Rabu, 16 Juli 2025.
Ubaidillah mengangkat dua studi kasus dari Nusa Tenggara Barat (NTB) yang menunjukkan betapa seriusnya dampak hoaks.
Salah satunya terjadi pada 2013, saat kabar bohong yang tersebar di grup media sosial berubah menjadi amukan massa.
“Itu berkembang dari isu personal menjadi kerusuhan sosial. Awalnya cuma soal perempuan yang berselisih dengan polisi, lalu disebar sebagai isu agama. Ini bahaya ketika tidak ada verifikasi,” ungkapnya.
Menurutnya, dibutuhkan lebih dari sekadar akses internet untuk melindungi masyarakat dari jebakan disinformasi. Harus ada jeda berpikir dan tradisi cek fakta yang kembali dihidupkan di tengah banjir konten online.
“Butuh waktu 30 detik saja untuk bertanya, ‘Benar nggak ya ini?’. Itu sudah cukup menyelamatkan banyak orang,” katanya.
Ubaidillah juga menyinggung sisi lain dari bahaya hoaks: kerugian ekonomi. Ia mencontohkan kasus pada 2022 ketika ribuan warga NTB tertipu janji bantuan dua ekor sapi dari sebuah koperasi yang mengatasnamakan program pemulihan ekonomi pemerintah.
Baca Juga: Pekebun Rakyat Kaltim Tetap Sejahtera, NTP Tertinggi Meski Sedikit Turun
“Ternyata itu tidak pernah ada dalam skema bantuan resmi. Tapi sudah terlanjur, lebih dari 22 ribu warga mendaftar. Akibatnya demo besar-besaran ke bupati, gubernur, bahkan ke kementerian,” jelasnya.
Ia menekankan, unggahan media sosial saat ini bisa jadi bukti hukum, dan dampaknya bisa menghancurkan hidup seseorang.
“Unggahan bisa jadi alat bukti di pengadilan. Hidup orang bisa berubah 180 derajat hanya karena satu postingan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Ubaidillah juga mengangkat isu deepfake yang belakangan menyasar tokoh-tokoh publik.
Ia khawatir masyarakat dengan literasi digital rendah, khususnya kelompok usia lanjut di daerah, bisa menjadi korban manipulasi visual berbasis kecerdasan buatan (AI).
“Bayangkan orang tua di daerah yang sangat percaya dengan tokoh-tokoh ini. Mereka tidak bisa membedakan mana video asli dan editan. Ini sangat riskan,” ujarnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Lagi Jadi Omongan, Berapa Penghasilan Edi Sound Si Penemu Sound Horeg?
- Tanpa Naturalisasi! Pemain Rp 2,1 Miliar Ini Siap Gantikan Posisi Ole Romeny di Ronde 4
- 5 Pemain Timnas Indonesia yang Bakal Tampil di Kasta Tertinggi Eropa Musim 2025/2026
- Brandon Scheunemann Jadi Pemain Paling Unik di Timnas Indonesia U-23, Masa Depan Timnas Senior
- Siapa Sebenarnya 'Thomas Alva Edi Sound Horeg', Begadang Seminggu Demi Bass Menggelegar
Pilihan
-
Media Vietnam Akui Nguyen Cong Phuong Cs Pakai Tekel Keras dan Cara Licik
-
Satu Kata Erick Thohir Usai Timnas Indonesia U-23 Gagal Juara Piala AFF
-
Pengobat Luka! Koreografi Keren La Grande di Final Piala AFF U-23 2025
-
8 HP Murah RAM Besar dan Chipset Gahar, Rp1 Jutaan dapat RAM 8 GB
-
5 Rekomendasi Mobil Bekas 50 Jutaan: Murah Berkualitas, Harga Tinggi Jika Dijual Kembali
Terkini
-
Dukung IKN dari Hulu: PPU Luncurkan Beras Lokal Benuo Taka
-
Sekolah Rakyat Segera Hadir di Kutim, Sasar Anak dari Keluarga Miskin
-
Kapal Rumah Sakit 50 Meter Siap Sambangi Pelosok Kaltim, Ini Tawaran dari Korea Selatan
-
Proyek IKN Jadi Sorotan DPR RI, Bandara VVIP hingga Jalan Inti Masuki Fase Penting
-
DLH Balikpapan: Bakar Sampah Bisa Kena Denda Rp50 Juta atau Kurungan 6 Bulan!