SuaraKaltim.id - Trotoar di depan Kantor Gubernur Kalimantan Timur tak pernah benar-benar sepi setiap Kamis sore.
Payung-payung hitam yang terbentang di Teras Samarinda telah menjelma simbol perlawanan terhadap lupa, tanda bahwa Aksi Kamisan Kaltim terus hadir menjaga suara keadilan.
Sejak 2017, gerakan ini bukan hanya agenda mingguan, tetapi juga ruang konsistensi moral bagi warga sipil, mahasiswa, aktivis, hingga seniman untuk menegaskan: pelanggaran HAM berat di negeri ini belum pernah selesai.
Peringatan delapan tahun Aksi Kamisan Kaltim pada Kamis, 7 Agustus 2025, menjadi momentum refleksi panjang.
Dalam rentang delapan tahun itu, aksi ini telah melewati tiga kepemimpinan gubernur—dari Awang Faroek Ishak, Isran Noor, hingga Rudy Mas’ud—namun pesan yang dibawa tak berubah: menolak diam terhadap impunitas.
Hadir langsung di Samarinda, Maria Catarina Sumarsih, sosok yang selama hampir dua dekade konsisten menyuarakan keadilan bagi korban pelanggaran HAM, kembali mengingatkan bahwa gerakan ini bukanlah seremonial.
“Ya saya salut terhadap kesetiaan hingga keteguhan kawan-kawan di Samarinda, termasuk Kaltim. Semoga apa yang mereka lakukan bermanfaat untuk masyarakat,” ucapnya.
Ia juga menyinggung problem yang melekat di Kalimantan Timur, seperti 53 korban lubang tambang sejak 2011 yang menurutnya lahir dari kelalaian pemerintah. Belum lagi kasus penghalangan kerja jurnalis yang dilakukan ajudan gubernur baru-baru ini.
“Jangan takut dengan para wartawan, jangan takut dengan para jurnalis, karena para wartawan, para jurnalis adalah pembawa kebenaran,” tegas Sumarsih.
Baca Juga: Kunjungan Gubernur Kaltim Disambut Infrastruktur Baru di Kampung Sidrap
Dukungan serupa juga datang dari KontraS. Jane Rosalina menyebut Aksi Kamisan Kaltim sebagai ruang aman sekaligus media edukasi publik agar sejarah kelam bangsa tidak terkubur.
“Delapan tahun perjalanan Aksi Kamisan Kaltim membuktikan bahwa gerakan ini tidak bergantung pada situasi politik atau tren isu. Ia berjalan karena ada kesadaran moral yang mengikat,” katanya.
Suasana peringatan diwarnai pakaian hitam, payung-payung terbuka, hingga bendera Palestina dan One Piece yang dibawa peserta.
Semua mengingatkan pada tagline yang terus diusung: merawat ingatan, menolak lupa.
Bagi mereka yang setia hadir, berdiri diam selama satu jam di bawah terik atau hujan bukan sekadar simbol.
Itu adalah pilihan sadar untuk menjaga memori kolektif, untuk menegaskan bahwa kemanusiaan harus selalu ditempatkan di atas segalanya.
Kontributor: Giovanni Gilbert
Berita Terkait
Terpopuler
- Shin Tae-yong: Jay Idzes Menolak
- Innalillahi, Komedian Mpok Alpa Meninggal Dunia
- Kata-kata Miliano Jonathans Tolak Timnas Indonesia
- Dulu Dihujat karena Biaya Persalinan Dibantu Raffi Ahmad, Rupanya Mpok Alpa Punya Cerita Memilukan
- Anak Muda Merapat! Ini 4 Mobil Bekas Keren Rp30 Jutaan yang Siap Diajak Keliling Pulau Jawa
Pilihan
-
Debit Manis Shayne Pattynama, Buriram United Menang di Kandang Lamphun Warrior
-
PSIM Yogyakarta Nyaris Kalah, Jean-Paul van Gastel Ungkap Boroknya
-
Cerita Awal Alexander Isak, Zlatan Baru yang Terasingkan di Newcastle United
-
Di Balik Gemerlap Kemerdekaan: Veteran Ini Ungkap Realita Pahit Kehidupan Pejuang yang Terlupakan
-
Daftar 5 HP Android Punya Kamera Setara iPhone, Harga Jauh Lebih Murah
Terkini
-
Ribuan Paket Pangan Dibagikan, PAN Kaltim Rayakan HUT ke-27 dengan Aksi Nyata
-
Dari Tragedi 1965 hingga Lubang Tambang, Aksi Kamisan Kaltim Terus Menolak Lupa
-
IKN Tahap II: Dari Infrastruktur ke Simbol Utuhnya Pemerintahan Baru
-
Lebih dari Sekadar Mahkota: Perjalanan Rinanda dari Kaltim ke Puteri Indonesia
-
Hasanuddin Masud: Semangat Kemerdekaan Jadi Energi Bangun Daerah