SuaraKaltim.id - Populasi Pesut Mahakam terus menunjukkan tren penurunan. Data terakhir mencatat tersisa sekitar 60 ekor yang hidup di perairan Sungai Mahakam.
Kondisi ini mendorong peneliti dan berbagai pemangku kepentingan menyiapkan langkah-langkah konkret untuk menyelamatkan spesies ikonik Kalimantan tersebut.
Peneliti dari Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI), Danielle Kreb, mengungkapkan bahwa pihaknya telah memulai koordinasi pelestarian pesut, sejalan dengan inisiatif Kementerian Lingkungan Hidup.
"Rencana aksi konservasi pesut melibatkan perlindungan habitat dari pencemaran dan kerusakan, pengelolaan sampah yang lebih baik di sekitar Sungai Mahakam, hingga penegakan hukum terhadap aktivitas ilegal," ujar Danielle, dikutip dari kaltimtoday.co--Jaringan Suara.com, Rabu, 1 Oktober 2025.
Selain itu, masyarakat juga dilibatkan dalam pelaporan dan pemantauan pesut secara rutin untuk memastikan efektivitas kebijakan konservasi.
"Nantinya, masing-masing OPD terkait diharapkan dapat mengambil peran sesuai tanggung jawabnya. Kami menyambut sangat baik inisiatif ini, dan mudah-mudahan bisa segera ada perbaikan habitat pesut," tambah Danielle.
Upaya konservasi penting mengingat populasi pesut Mahakam masih menurun. Tahun 2024 tercatat hanya sekitar 60 ekor.
Untuk 2025, tim konservasi masih melakukan pemantauan, dengan hasil survei yang dijadwalkan keluar akhir tahun.
"Kami belum bisa memastikan tahun ini, karena perlu tiga kali survei dengan interval empat bulan. Metode penghitungan dilakukan berdasarkan identifikasi sirip, karena setiap pesut memiliki ID sirip," jelasnya.
Baca Juga: Menumbuhkan Ketangguhan Mental Anak dan Perempuan, Prioritas Baru Bangsa
Tantangan kematian pesut tetap ada, meskipun kasus kematian akibat terjerat jaring nelayan mulai menurun berkat upaya bersama.
"Setiap ada bangkai pesut ditemukan, kami langsung turun untuk melakukan uji lapangan, agar mengetahui penyebab kematiannya. Dari hasil analisis, kami bahkan menemukan mikroplastik dalam tubuh pesut," ungkap Danielle.
Sebagian besar kematian pesut disebabkan oleh jaring, tabrakan dengan kapal tongkang, racun, pencemaran lingkungan, dan lain-lain.
"Pernah juga ada kasus setrum, bahkan anak pesut yang masih bayi pernah terkena setrum. Hal-hal seperti ini jelas membutuhkan pengawasan yang lebih ketat," tutupnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pelatih Argentina Buka Suara Soal Sanksi Facundo Garces: Sindir FAM
- Kiper Keturunan Karawang Rp 2,61 Miliar Calon Pengganti Emil Audero Lawan Arab Saudi
- Usai Temui Jokowi di Solo, Abu Bakar Ba'asyir: Orang Kafir Harus Dinasehati!
- Ingatkan KDM Jangan 'Brengsek!' Prabowo Kantongi Nama Kepala Daerah Petantang-Petenteng
- Seret Nama Mantan Bupati Sleman, Dana Hibah Pariwisata Dikorupsi, Negara Rugi Rp10,9 Miliar
Pilihan
-
Pertamax Tetap, Daftar Harga BBM yang Naik Mulai 1 Oktober
-
Lowongan Kerja PLN untuk Lulusan D3 hingga S2, Cek Cara Daftarnya
-
Here We Go! Jelang Lawan Timnas Indonesia: Arab Saudi Krisis, Irak Limbung
-
Berharap Pada Indra Sjafri: Modal Rekor 59% Kemenangan di Ajang Internasional
-
Penyumbang 30 Juta Ton Emisi Karbon, Bisakah Sepak Bola Jadi Penyelamat Bumi?
Terkini
-
Dinkes Kaltim Kaji Solusi Inovatif untuk MBG, KDMP Jadi Andalan Distribusi
-
Cleo Smart Run 5K Hadir Kembali di Tahun Ini. Ayo Buruan Daftar Lewat Blibli!
-
Empat Potensi Malaadministrasi MBG Jadi Alarm bagi Pemerintah
-
Ditjen Bina Adwil Pastikan Anggaran Kemendagri Tepat Sasaran dan Transparan
-
Ombudsman Minta BGN Perketat Mutu Program MBG Setelah Kasus Keracunan