SuaraKaltim.id - Pemerintah telah menyebutkan setidaknya ada lima kontrak perusahaan tambang batu bara atau biasa dikenal dengan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) Generasi I yang akan berakhir pada 2020-2025.
Meski begitu teka-teki mengenai kemungkinan kelima perusahaan tersebut bakal mendapat perpanjangan kerja sama konferensi lahan, hingga kini masih belum jelas dan terkesan ditutup-tutupi oleh pemerintah.
Pegiat aktivis lingkungan hidup dari Jatam Kaltim Pradarma Rupang pun angkat suara. Pada hari Hak Untuk Tahu Sedunia pada Senin (28/9/2020), dia meminta pemerintah bersikap transparan atas proses izin tambang batubara tersebut, karena dinilainya banyak merugikan masyarakat dan pemerintah daerah.
"Penting bagi publik untuk mengetahui proses ini, khususnya di Kaltim, agar mengetahui perjalanan perusahaan tambang itu sejak mulai beroperasi hingga berhenti beroperasi," kata Pradarma dalam webinar, Minggu (27/9/2020).
Baca Juga:3 Pekerja Tewas, 1 Luka Berat Tertimbun Lubang Tambang di Sumbar
Dia mengemukakan, setidaknya ada tiga hal yang harus diketahui publik soal proses perizinan tambang.
"Buka kontrak, daftar nama, dan perkembangan evaluai tambang-tambang raksasa batubara yang habis masa berlakunya. Kita mendesak pemerintah agar membuka data itu,” ujarnya.
Kelima perusahaan yang kontraknya akan habis, empat di antaranya berada di Kaltim. Perusahaan tersebut meliputi PT KPC di wilayah Kutai Timur (19882–2021), PT Multi Harapan Utama Kukar (1986-2022), PT Kideco Jaya Agung Paser (1982-2023, dan PT Berau Coal (1983-2025).
Kemudian satu lagi perusahaan pemegang PKP2B, yakni PT Arutmin Kalsel (1981-2020).
Selain itu, Pradarma juga mempertanyakan status kewajiban atas perusahaan tersebut.
Baca Juga:Tiga Pekerja Tambang Batu Bara Tewas Tertimbun di Kedalaman 150 Meter
Menurutnya, hal ini penting agar pengelolaan tambang batubara tidak merugikan masyarakat sekitar dan tetap memikirkan aspek lingkungan hidup.
Lantaran itu, dia menuntut agar proses transparansi perizinan tambang dibuka selebar-lebarnya agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan.
"Dari hulu sampai hilir evaluasi itu harus transparan kepada masyarakat dari seluruh perjalanan perusahaan tambang itu. Sehingga penting sekali dokumen evaluasi itu harus sampai ke publik dengan objektif,” katanya.