Sejarah Keunikan Suku Dayak Wehea yang Anggap Padi Jelmaan Manusia

Menurut kepercayaan suku Dayak Wehea, padi adalah jelmaan dari manusia.

Denada S Putri
Kamis, 28 Maret 2024 | 02:00 WIB
Sejarah Keunikan Suku Dayak Wehea yang Anggap Padi Jelmaan Manusia
Ilustrasi salah satu ritual di Suku Dayak Wehea. [Ist]

SuaraKaltim.id - Suku Dayak Wehea menjadi salah satu sub rumpun Suku Dayak yang warganya mendiami wilayah yang tersebar di enam desa di Kalimantan Timur (Kaltim).

Suku ini mendiami enam desa di Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur (Kutim). Di antaranya, Desa Nehas Liah Bing, Long Wehea, Diaq Leway, Dea Beq, Diaq Lay, dan Bea Nehas.

Menurut kepercayaan suku Dayak Wehea, padi adalah jelmaan dari manusia, untuk itu mereka sangat menghormati padi dengan setinggi-tingginya.

Bagaimana sejarah padi menjadi jelmaan manusia ini? adapun di zaman dahulu, suku Dayak Wehea pernah dilanda bencana kekeringan berkepanjangan dan kelaparan.

Baca Juga:Mitos Dayak Punan soal Hewan Pembawa Pesan Utusan 'Tuhan'

Semua tanaman dan tumbuhan mati terkulai menyebabkan gagal panen. Kekeringan atau kemarau benar-benar menguras energi suku Dayak Wehea pada saat itu.

Bahkan, semua tanaman yang ditanam dan juga tumbuhan yang berada di hutan tempat mereka menggantungkan hidup juga mati kekeringan.

Kemudian, suku Dayak Wehea masuk pada fase kedua yakni, kelaparan. Banyak warga menderita hingga jatuh sakit.

Nahasnya, beberapa berujung meninggal dunia akibat tak memiliki apapun untuk dimakan. Sumber dihutan pun sirna oleh kemarau itu.

Kemudian, Hepui Ledoh atau ratu perempuan bernama Diang Yung yang juga hidup bersama warga turut merasakan bencana yang menimpa warganya.

Baca Juga:Makna Unik Motif Ukiran di Rumah Adat Lamin, Bentuk Penghormatan pada Leluhur

Sang Hepuy berusaha cari tahu dan berpikir keras bagaimana cara menyelamatkan warganya, hingga pada suatu malam dia bermimpi didatangi Dohton Tenyiei atau yang mereka anggap Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dalam mimpinya, Dohton Tenyiey meminta kepada Diang Yung untuk mengorbankan putri tunggalnya, Putri Long Diang Yung demi menyelamatkan warganya dari bencana kekeringan dan kelaparan.

Jika tidak dilakukan, maka warga akan meninggal teru menerus hingga habis. Setelah terjaga dari tidurnya, hati sang hepuy Diang Yung berkecamuk memikirkan wangsit yang disampaikan oleh Dohton Tenyiey.

Akhirnya, diadakan musyawarah dengan tetua adat dan pemuka masyarakat, maka diambillah suatu mufakat bahwa masyarakat banyak harus diselamatkan dan Putri Long Diang Yung yang dikorbankan.

Selesai mengucapkan sumpah saat Hepuy Diang Yung mengorbankan sang Putri Long Diang Yung tiba-tiba hari menjadi gelap seketika, hujan pun turun sangat deras.

Kemudian, sang putri yang telah dikorbankan berubah menjadi serumpun padi yang tumbuh meninggi serta mengeluarkan bulir-bulir yang sudah menguning.

Padi kemudian dituai dan dibagikan kepada warga sebagai benih atau bibit untuk ditaman. Warga yang sudah mendapatkan bagiannya segera pergi untuk menanam.

Hasil dari benih yang ditanam itulah yang dituai, kemudian dikonsumsi hingga akhirnya mereka terlepas dari bencana kekeringan dan kelaparan, hidup makmur dan sejahtera.

Itulah alasan mendasar orang-orang Wehea hingga saat ini masih konsisten melaksanakan ritual Lom Plai.

Kontributor: Maliana

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini