Kaltim Emas Tanpa Ketimpangan: Harapan Baru dari Gratispol

Pemprov juga membebaskan biaya administrasi kepemilikan rumah bagi masyarakat.

Denada S Putri
Sabtu, 07 Juni 2025 | 16:29 WIB
Kaltim Emas Tanpa Ketimpangan: Harapan Baru dari Gratispol
Ilustrasi Gratispol, program Rudi Mas'ud-Seno Aji. [Ist]

Gratispol untuk Guru di Kaltim, Pengamat: Jangan Asal Sekolah S2

Pengamat pendidikan dari Universitas Mulawarman (Unmul), Susilo, memberikan tanggapannya terkait wacana perluasan cakupan program pendidikan Gratispol agar tidak hanya dinikmati oleh siswa dan mahasiswa, melainkan juga oleh para pengajar.

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) kini mulai membuka akses program Gratispol untuk kalangan guru, sebagai bagian dari strategi meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di semua tingkatan pendidikan.

Langkah ini dinilai penting karena peningkatan kualitas guru merupakan investasi jangka panjang yang akan berdampak langsung terhadap mutu lulusan pelajar di Kaltim.

Baca Juga:Desa Wisata Jadi Andalan Kaltim di Tengah Efisiensi Anggaran

Susilo menilai, potensi program ini cukup besar dalam meningkatkan kompetensi tenaga pendidik, namun pelaksanaannya harus dilakukan secara terencana.

Ia menekankan pentingnya kesesuaian antara bidang studi S2 dengan mata pelajaran yang diajarkan oleh guru.

“Semua peningkatan SDM melalui S2 itu baik. Paling tidak satu rumpun ilmu. Sehingga kedepannya, kualitas guru akan lebih baik,” ucap Susilo saat dihubungi pada Senin, 2 Juni 2025, malam.

Namun demikian, ia mengingatkan adanya risiko jika guru yang telah dibiayai negara justru berpindah profesi atau lokasi kerja yang tidak sesuai dengan kebutuhan awal.

“Jadi harus ada semacam komitmen dari yang membiayai bahwa setelah disekolahkan ya dia (guru) tetap di wilayah itu. Jangan sampai pindah sekolah,” lanjutnya.

Baca Juga:Kaltim Belum Catat Kasus Covid-19, Tapi Tetap Waspada Lonjakan Global

Oleh karena itu, Susilo menyarankan agar Pemprov Kaltim melakukan pemetaan wilayah yang benar-benar membutuhkan guru bergelar S2, serta memastikan distribusi kompetensi guru merata di seluruh daerah.

“Paling enggak, pemprov melakukan kerja sama dengan BKD atau dinas di bawahnya. Ketika suatu daerah kekurangan guru, ya jangan S2. Ngapain juga gitu loh maksudnya. Apalagi jika mereka bondong - bondong untuk sekolah S2, akan jadi masalah bagi sekolahnya,” katanya.

Ia juga menekankan pentingnya seleksi calon penerima program agar lebih tepat sasaran, terutama kepada guru-guru yang statusnya sudah jelas sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).

“Ketika program itu digulirkan nanti, misalnya khusus guru yang sudah diidentifikasi menjadi guru PNS. Jangan guru-guru muda, karena yang muda belum jelas jadi guru, di disekolahkan, nanti pasti tidak mau jadi guru kalau sudah S2,” tegasnya.

Walaupun peningkatan jenjang pendidikan guru dapat membawa dampak positif terhadap mutu pengajaran, Susilo menilai hal itu bukan satu-satunya indikator kemajuan pendidikan, terlebih bagi daerah-daerah terpencil yang menjadi sasaran program ini.

“Jadi tidak boleh dikatakan bahwa guru ini ketika disekolahkan akan lebih baik dari yang tidak sekolah. Karena, kalau pemprov pandangannya seperti itu, berarti tidak mengakui universitas yang ada di Indonesia kan,” ujarnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak